Kamis, 29 November 2012

Perkenalkan Pendidikan Seks Sejak Dini Sosbud | Jumat, 30 November 2012 01:53 WIB


Perkenalkan Pendidikan Seks Sejak Dini
Sosbud | Jumat, 30 November 2012 01:53 WIB

Metrotvnews.com, Medan: Pendidikan seksual penting untuk masuk dalam kurikulum SD, karena perkembangan pubertas anak saat ini sudah mulai sejak anak berusia delapan tahun.

"Pendidikan seksual harusnya sudah mulai diperkenalkan orangtua maupun tenaga pendidik sejak dini kepada anak, bahkan bila perlu sudah dimasukkan dalam kurikulum pendidikan Sekolah Dasar," kata ahli psikologi, Irna Minauli di Medan.

Menurut Irna kondisi tersebut wajar, karena anak-anak dulu mengalami menstruasi saat usia 15 tahun. Namun, sekarang anak-anak berusia delapan tahun sudah ada yang menstruasi. Secara fisiologis dan kematangan organ reproduksi, usia kematangan itu semakin dini sehingga meningkatkan sejumlah resiko.

Karenanya, pendidikan seksual sudah bisa diajarkan sejak kelas V dan VI SD. Agar anak siap menghadapi perubahan dalam dirinya. Selama ini, banyak orangtua beranggapan pemberian informasi seksual menimbulkan keingintahuan anak yang tinggi. Sehingga mengarah pada eksperimen hal-hal yang belum waktunya mereka lakukan.

"Sebenarnya kekhawatiran itu tidak benar. Karena survei membuktikan pendidikan seks tidak meningkatkan aktivitas seksual," katanya.

Jadi, metode pembelajarannya lebih ke arah yang sifatnya tidak langsung dalam memberikan penjelasan. Sehingga anak akan lebih paham apa yang akan terjadi pada dirinya dan menjadi lebih hati-hati. (Ant/Wtr4)

Selasa, 27 November 2012

Mulai TP 2013 - 2014 Kemdikbud Selenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini Berbasis Masjid

SABTU, 24 NOV. 2012 - SITA BLOG:  JAKARTA, (PRLM).- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun ajaran 2013/2014 akan menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) berbasis masjid. Kegiatan ini menggandeng Dewan Masjid Indonesia (DMI) dengan melakukan pendampingan dan pengembangan mutu layanan PAUD kepada masjid-masjid di seluruh Indonesia.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh menuturkan bahwa penyelenggaraan PAUD membutuhkan fasilitas yang besar. Menurut Mendikbud, sarana ibadah seperti masjid, gereja, dan pura dapat dimanfaatkan untuk menyelenggarakan PAUD.
“Rumah-rumah ibadah tidak 24 jam dipakai, sehingga dapat dimanfaatkan untuk pendidikan terutama PAUD,” kata Nuh seusai melakukan penandatanganan kesepahaman bersama dengan Ketua DMI M. Jusuf Kalla tentang penyelenggaraan program PAUD di masjid-masjid seluruh Indonesia, berlangsung di Gedung Kemdikbud, Senayan, Jakarta, Selasa (20/11/12).
Sebagaimana siaran pers yang diterima “PRLM” di Jakarta, Selasa (20/11/12), Mendikbud mengatakan, tugas kementerian bukan semata-mata sebagai penyelenggara pendidikan tunggal. Pihaknya mendorong partisipasi dari masyarakat. “Akar pendidikan itu tidak ditumpu oleh faktor pemerintah saja, tetapi masyarakat juga, sehingga basisnya lebih kuat,” katanya.
Nuh menjelaskan, tidak semua masjid akan digunakan untuk PAUD. Kriterianya, kata dia, setidaknya masjid memiliki halaman dan ada ruang yang bisa digunakan untuk kegiatan pembelajaran. Setelah memenuhi syarat kemudian dikeluarkan izin.
“Secara legal disiapkan dalam waktu enam bulan (mulai) pertengahan Juni 2013. Institusi penyelenggara PAUD harus resmi dan calon guru dilatih secara khusus,” katanya. Adapun pendanaan penyelenggaraan PAUD dilakukan bersama-sama antara Kemdikbud dan DMI. Kerja sama yang sama juga akan dilakukan dengan komunitas Nasrani, Hindu, dan Budha. “Yang kita dorong anak-anak dari keluarga menengah ke bawah,” katanya.
Sementara itu, Ketua DMI M. Jusuf Kalla mengatakan, masjid dan pendidikan tidak dapat dipisahkan. Menurut dia, hampir semua masjid ada unsur pendidikan, baik pendidikan agama dan pendidikan Alquran.
Masjid, kata dia, mempunyai perguruan tinggi dan sebaliknya lembaga pendidikan mempunyai masjid. Dia menyebutkan, jumlah masjid di Indonesia hampir 800 ribu, termasuk mushola dan surau.  Dijelaskan, dengan PAUD di masjid berarti sejak awal anak ada di masjid, maka jiwa keagamaan akan lebih baik.
“Mudah-mudahan dengan kerja sama ini akan meningkatkan modal pendidikan keagamaan dan keimanan anak-anak kita,” tuturnya. (A-94/A-108)***

Komentar:

Mr Slamet Priyadi - Minggu, 25/11/2012 - 03:52 

Apa pun itu, asal tujuannya baik saya sih mendukung saja. Memang harus kita akui di era globalisasi teknologi infformasi sekarang ini, kemajuan di berbagai bidang kehidupan semakin tak terkendali yang sudah barang tentu, jika kita tidak pandai-pandai menyikapinya, tentu akan berdampak negatif bagi perkembangan jiwa, mental dan spiritual anak. Dengan program PAUD yang berbasis masjid sebagai sarana dalam proses pembelajaran tentu akan lebih mengakrabkan anak pada aktivitas religius yang ke depan Insya Allah akan membentuk jiwa anak ke arah yang positif. Semoga!
ridwan - Rabu, 21/11/2012 - 09:01 
Penyelenggaraan PAUD BERBASIS MESJID, Bagi saya selaku masyarakat awam kok heran. PAUD yang diselenggarakan oleh POSYANDU, RT, RW bahkan desa yang berjalan sekarangpun masih jauh dari standar minimal kelayakan, kesannya asal-asalan yang penting dapat bantuan. Sekarang ada lagi Program Baru, kok kayaknya semudah itu. Kenapa tidak lebih mengefektifkan lembaga-lembaga PAUD yag Ada seperti TK-RA-BA DLL. Setidaknya sarana, gurunya sudah pada layak..
Kalau memang tujuannya untuk memperbaiki jiwa keagamaan anak, kan ada madrasah2 yang menyelenggarakan PAUD, tinggal dorong/maksimalkan.
CIK KUMAHA SARAN-SARAN, PENDAPAT TI DULUR-DULUR?.....

Opini - Sabtu, 24 Nov 2012 00:04 WIB Pendidikan Anak Tanggung Jawab Kita Oleh: Amrizal Nasution.


Anak-anak perlu pendidikan sejak dini
Membaca Buku Cerita 
Pendidikan merupakan gerbang emas menuju masa depan yang gemilang. Permasalahan pemenuhan hak pendidikan di Indonesia sudah dirasakan sejak zaman penjajahan, dimana pendidikan hanya diperuntukkan bagi kalangan bangsawan dan orang-orang kaya. Orang miskin dan rakyat jelata dibiarkan untuk tetap bodoh dan tidak dapat menikmati pendidikan. Tetapi sekarang zaman sudah berubah dan setiap orang atau warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang layak, sesuai bunyi pasal 28c ayat 1 (Amandemen UUD 1945 pada tahun 2000) " Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia".
Berdasarkan uraian di atas, maka tidak ada alasan lagi bagi pemerintah untuk bersikap passif dalam menyelenggarakan pendidikan dasar bagi masyarakatnya utamanya anak-anak pada usia wajib belajar. Karena hal ini termasuk dalam pemenuhan hak-hak anak yang termuat dalam pasal 9 angka 1 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu " Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya".

Begitu pentingnya pemenuhan pendidikan terhadap warga negara khususnya anak-anak, sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan tersendiri yang mengatur pendidikan yaitu UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Rasa-rasanya sangat banyak dan lengkap berbagai Undang-Undang beserta turunannya yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan bagi masyarakat khususnya anak, tetapi mengapa pelaksanaan pemenuhan pendidikan anak masih saja ditemui masalah, baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya.

Data statistik pendidikan di Indonesia, setiap tahun hampir 900 ribu anak Indonesia putus sekolah. Mudah-mudahan semakin mengecil, mengingat angka yang sangat besar yang berpotensi menimbulkan bencana sosial bagi bangsa dan negara tercinta ini kelak. Sangat ironis kedengarannya ketika pemerintah mulai serius untuk memenuhi pendidikan terhadap anak-anak usia wajib belajar sembilan tahun melalui program BOS, di satu sisi terjadi penggelapan atau tindak korupsi terhadap dana yang diperuntukkan bagi siswa-siswa yang tidak mampu tersebut. Lebih menyedihkan lagi, tindak korupsi tersebut dilakukan oleh oknum pendidik yang seharusnya mengayomi anak-anak didikannya. Mau dibawa kemana dunia pendidikan lebih luas lagi masa depan negara kita kalau sudah begini? Padahal guru seharusnya menjadi panutan bagi anak didiknya, kalau baik gurunya baiklah murid-muridnya, begitu sebaliknya.

Pendidikan Anak

Bicara anak (seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk dalam kandungan sesuai pasal 1 angka 1 UU Perlindungan Anak), maka kita akan tertuju pada sosok unik, dimana perilaku dan sikapnya mulai dibentuk. Tidak akan habisnya, banyak hal yang bersinggungan dengannya karena ini menyangkut generasi masa depan bangsa, penerus cita-cita perjuangan bangsa.

Perlu menjadi pemahaman kita bersama bahwa pendidikan yang berkualitas dan ramah anak merupakan salah satu hak dasar anak. Dan ini bukan hanya tanggung jawab pemerintah semata, tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama baik orang tua, keluarga, masyarakat serta seluruh pemangku kepentingan. Disinilah kepribadian dan mental seorang anak dibentuk menjadi anak yang berkualitas, berakhlak mulia dan sejahtera. Urusan pendidikan bukan hanya sekedar memberikan layanan kegiatan belajar mengajar serta penyediaan fasilitasnya saja, tetapi layanan yang harus berbasis pada pemenuhan hak anak berdasarkan prinsip-prinsip: non diskriminasi; kepentingan yang terbaik bagi anak; hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan perkembangan; dan penghargaan terhadap pendapat anak (pasal 2 UU No.23 tahun 2002).

Pemenuhan hak pendidikan anak, tidak hanya sekedar memberikan kepada anak kesempatan untuk memperoleh pendidikan saja, akan tetapi harus diartikan sebagai salah satu bentuk penyelenggaraan perlindungan anak, sebagaimana maksud dalam pasal 1 angka 2 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa "Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".

Jelas sudah bahwa pendidikan anak harus disinergikan dengan upaya penyelenggaraan perlindungan anak, dimana Pemerintah telah mengembangkan program wajib belajar 9 tahun (bahkan di beberapa daerah sudah menerapkan wajib belajar 12 tahun). Ini dimaksudkan agar anak-anak bangsa ini tidak ada lagi yang buta aksara dan putus pendidikannya setelah tamat SMP (9 tahun) Karena tidak dapat dipungkiri kejahatan yang marak terjadi beberapa bulan belakangan ini disebabkan tingginya angka putus sekolah dan pengangguran di kalangan remaja. Yang menyebabkan mereka menjadi tidak yakin akan masa depannya sehingga mudah terjerumus melakukan perbuatan-perbuatan yang negatif seperti narkoba, geng-geng motor dan perilaku salah lainnya.

Sehingga jelas sudah bahwa pendidikan anak menjadi jawaban dari semua permasalahan yang dihadapi selama ini. Sekolah sebagai tempat menuntut ilmu dan budi pekerti mulia, sudah seharusnya memberikan kemudahan dan pelayanan bagi anak-anak negeri yang ingin mengecap manisnya pendidikan, bukan malah mempersulitnya. Wajib belajar merupakan salah satu gebrakan pemerintah yang jitu dalam upayanya meningkatkan kualitas masyarakatnya dan memberikan pendidikan minimal bagi warga negara untuk mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi lagi.

Pemerintah mempunyai harapan yang tinggi dengan dikeluarkannya berbagai kebijakan dan program di bidang pendidikan, antara lain adanya peningkatan taraf hidup masyarakat Indonesia, menurunkan buta aksara, menurunkan tingkat pekerja anak dan lainnya. Selain itu dengan dipenuhinya pendidikan anak, maka secara tidak langsung juga ikut meminimalisir tingkat kriminalitas yang dilakukan oleh segelintir anak-anak yang putus sekolah.

Tidak kalah pentingnya adalah peran orang tua, keluarga dan masyarakat dalam mendukung dan memberikan yang terbaik bagi pemenuhan pendidikan anak-anaknya. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa kepribadian dan mental seorang anak mulai dibentuk di dalam keluarga. Dan bagi pemerintah, saatnya benar-benar menerapkan 20 persen anggaran dari APBN dan APBD bagi terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, menerapkan wajib belajar 12 tahun di seluruh daerah di Indonesia. Bangsa ini sudah merdeka dari penjajahan, dan saatnya juga memerdekakan rakyatnya dari kebodohan. Ada pepatah orang bijak yang harus diingat "kebodohan sangat dekat kepada kemiskinan dan kemiskinan sangat dekat pada kekufuran".
[Penulis adalah staf Yayasan Pusaka Indonesia Medan]

Kamis, 22 November 2012

PENGAJARAN MUSIK BISA MENGEREM RADIKALISME Oleh Addi Mawahibun Idhom


foto Ilustrasi 
Para siswa sekolah dasar Islam dan anggota kelompok rebana El-Khis Plosokuning bershalawat dengan menggunakan batu di Kali Kuning, kelurahan Wedomartani, kecamatan Ngemplak, kabupaten Sleman, Yogyakarta, Kamis (26/7/2012). Kegiatan yang diikuti 30 ustad dan 170 orang siswa dari 6 sekolah dasar Islam di wilayah kecamatan Depok dan Ngaglik, kabupaten Sleman ini bertujuan untuk mengisi waktu menunggu buka puasa dengan beribadah sekaligus memperkenalkan musik dari tabuhan benda-benda keras kepada anak-anak. TEMPO/Suryo Wibowo

TEMPO.CO, Yogyakarta - Pakar sains dari Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Taufik Pasiak, menyarankan agar komunitas pesantren memasukkan aktivitas bermusik, meditasi kontemplatif, serta interaksi sosial kepada anak didiknya. “Tiga elemen aktivitas itu bisa mencegah tumbuhnya potensi otak yang gampang menerima gagasan agama radikal,” kata Taufik pada konferensi tentang spiritualisme dan radikalisme di Universitas Islam Negeri Kalijaga, Yogyakarta, Kamis 22 November 2012.

Dia menjelaskan, dari kacamata neurosains, pilihan seorang menerima gagasan radikal atau toleran dipengaruhi oleh struktur otak yang mudah terbentuk karena beberapa jenis persepsi pada tuhan. “Penganut radikalisme agama otaknya didominasi sistem penalaran bernama limbic yang terlalu aktif, sehingga menyebabkannya susah menerima pendapat berbeda dari luar,” ujar penulis buku Tuhan dalam Otak Manusia ini.

Taufik mengatakan, pembentukan struktur otak seperti itu dibantu pengaruh kuat persepsi mengenai sifat tuhan yang otoriter. "Penguatan aktivitas limbic dipupuk persepsi bahwa tuhan itu pemarah dan suka menghukum," kata dia, yang juga Ketua Muhammadiyah Kota Manado.

Sebaliknya, jika sistem pada otak bernama prefrontal mendominasi, gagasan keagamaan akan dikesampingkan. Maka, kata Taufik, perlu keseimbangan antara limbic dan prefrontal sehingga otak terlatih mengenal cara berpikir empati. “Keseimbangan seperti ini ternyata mudah muncul pada orang dengan persepsi mengenai Tuhan yang penuh cinta kasih dan pemaaf,” kata dia.

Menurut Taufik, kemampuan otak mengenal empati bisa terlatih lewat bermain musik, meditasi, dan interaksi sosial. Dia mencontohkan, tokoh sufi Jalaluddin Rumi memanfaatkan tarian dan musik untuk melatih sensitivitas spiritualisme yang menjunjung ide cinta universal. “Kontemplasi melatih orang mendengar dan merasakan hal kecil dan asing sehingga membuat otak lebih mudah menerima perbedaan,” tuturnya.

Pembicara lain, Mark Woodward, memperkuat pendapat Taufik. Pakar konflik agama dari Arizona State University ini mencontohkan kelompok yang menokohkan keturunan nabi (habib) di Front Pembela Islam dengan jemaah salawat Habib Syech. Keduanya punya akar Islam tradisional, berorientasi sufistik, dan radikal. Bedanya, Habib Syech akrab dengan musik. Mark sempat memutar salah satu klip video penampilan musik salawatan Habib Syech di depan peserta konferensi.

Konferensi yang berlangsung hingga Sabtu mendatang ini dihadiri sejumlah pakar keagamaan dari berbagai kampus dalam negeri dan luar negeri.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM

Minggu, 11 November 2012

Jumat, 09 Nov 2012 00:04 WIB Pakar: Pendidikan Anak Usia Dini Sangat Penting


PENDIDIKAN ANAK DALAM KELUARGA - httpsrogol.blogspot.com 

Harian ANALISA - Wanita & Keluarga - Jumat, 09 Nov 2012 00:04 WIB: Para pakar pendidikan internasional dan pembuat kebijakan berkumpul di Jakarta untuk membahas tentang pentingnya pendidikan bagi anak usia dini di kawasan Asia Pasifik. Pertemuan atau konferensi ini dihadiri oleh sekitar 250 pakar Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (PPAUD) dan berlangsung 5-7 November yang diselenggarakan Bank Dunia, Jaringan Regional Asia Pasifik untuk Anak Usia Dini (ARNEC), Koalisi Nasional untuk Pengasuhan dan Pengembangan Anak Usia Dini Indonesia.

Selain itu juga bekerjasama dengan Pemerintah Kerajaan Belanda, serta Negara Uni Eropa, demikian siaran pers Bank Dunia yang diterima di Jakarta, Rabu.

Para pakar pendidikan berpendapat, pendidikan bagi anak usia dini sangat penting agar anak usia prasekolah serta sekolah dasar dapat memiliki landasan yang kokoh untuk belajar seumur hidup tentunya didukung dengan peran dan dukungan dari keluarga, masyarakat, dan sekolah.

Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle, anak-anak yang mendapat pendidikan usia dini memperlihatkan perkembangan fisik, sosio-emosional, dan kognitif yang jauh lebih besar daripada anak-anak yang tidak mendapat pendidikan usia dini tersebut.

Sejak 2007, pemerintah Indonesia telah meningkatkan layanan pendidikan bagi anak usia dini berupa Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (PPAUD) bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah melalui dukungan dari Pemerintah Kerajaan Belanda dan Bank Dunia guna memperkuat kemampuan para murid ketika mulai sekolah.

Bahkan di desa-desa, anak-anak menunjukkan kemampuan berbahasa dan perkembangan kognitif yang lebih baik serta dalam angka pendaftaran sekolah terus meningkat.

"Riset menunjukkan bahwa investasi pendidikan pada anak usia dini menghasilkan manfaat yang lebih baik dibandingkan dengan investasi pada tingkat usia lainnya. Pembuat kebijakan dan para ahli harus bekerja sama untuk memperkuat agenda pendidikan anak usia dini guna meraih hasil yang lebih baik," kata Ahli Pendidikan Utama, Bank Dunia untuk Indonesia, Mae Chu Chang.

Agenda utama dalam pertemuan atau konferensi ini adalah pembahasan regional tentang peranan Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia Dini (PPAUD) dalam agenda pasca Pembangunan Millenium (MDGs) yang akan berakhir pada tahun 2015 sebagai salah satu komitmen yang paling berpengaruh terhadap peningkatan partisipasi anak dalam pendidikan juga penurunan angka kematian pada anak.

"Hasil-hasil konferensi ini akan membuka jalan bagi Forum Kebijakan Menteri Tingkat Tinggi yang akan diselenggarakan pada Juni 2013 di Seoul, Korea. Kita memiliki kesempatan untuk mencapai kemajuan dalam agenda ini," kata Koordinator ARNEC, Junko Miyahara. (Ant)

PERAN ORANG TUA DALAM MENINGKATKAN MINAT BACA ANAK DALAM KELUARGA Oleh Sita S.Priyadi



Sita sedang membaca buku dongeng
 MINGGU, 11 NOV. 2012 – SITA BLOG: Berdasarkan penelitian Prof.Benyamin Bloom (JimTrealease,1982) bahwa 50% kematangan intelegensia seorang anak tercapai pada usia 4 tahun. Pada periode ini anak lebih suka meniru suara-suara yang didengar dan yang dilihat di sekitarnya terutama di rumah seperti suara radio, televisi bahkan sikap dan prilaku orang-orang di sekelilingnya terutama orang tuanya. Bagi seorang anak orang tuanya (ayah dan ibu) adalah model idolanya yang paling utama. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan minat baca anak,  pada periode ini orang tua sebaiknya meluangkan waktu dan membiasakan diri untuk membaca buku-buku yang bermanfaat. Hal ini dilakukan dalam rangka membentuk prilaku dan meningkatkan minat anak agar gemar, suka dan terbiasa membaca buku seperti apa yang diperlihatkan orang tuanya. Semakin cepat orang tua mendekatkan, mengakrabkan dan membiasakan anak-anaknya untuk gemar membaca buku akan semakin baik. Jelasnya, dalam kehidupan keluarga, minat dan kecintaan membaca seorang anak harus ditanamkan dan dibiasakan sejak dini. Dan, orang tua, ayah dan ibu yang paling utama terlebih dahulu harus dapat memberi contoh teladan kepada anak-anaknya dalam hal kegemaran membaca buku. Persoalannya adalah bagaimana caranya orang tua menunjukkan jalan kepada anak-anaknya  agar dekat, terbiasa dan gemar membaca buku? 

Anaianak sedang asyik menikmati buku cerita

Berikut adalah beberapa saran agar anak dekat dan terbiasa dengan buku-buku bacaan yang penulis kutip hanya beberapa saja dari tulisan DR. Murti Bunanta. SS;MA dalam bukunya “Buku,Mendongeng dan Minat Membaca” hal.85-88:

1.  Biasakan anak-anak bergaul dan dikelilingi buku di rumah sebelum mereka bersekolah (masa prasekolah).Jangan menunggu mereka sampai bersekolah dan dapat membaca sendiri. Ini artinya, kita akan kehilangan waktu paling tidak 7 tahun untuk mendekatkan sastra pada anak.

2.   Kita dapat memperkenalkan sastra pada anak-anak sebelum mereka dapat membaca dengan cara membacakan buku yang baik dan sesuai untuk anak prasekolah.

3.      Bacakanlah  buku cerita agar anak suka dan lebih  cepat dapat membaca kerena anak terbiasa melihat huruf dan kata-kata dari cerita yang dibacakan. Dengan demikian anak dapat merangkaikan huruf dan bunyi yang didengar.

4.   Ibu dan bapak haruslah mau meluangkan waktu untuk bercerita atau membacakan buku pada anak secara teratur setiap hari, meskipun hanya sebentar. Ini lebih baik daripada dalam waktu yang lama, tetapi hanya sekali-kali saja.

5.      Jika membeli buku berisi cerita rakyat, pilih yang bahasanya tidak rumit, ceritanya digambarkan dengan cepat dan banyak humornya serta sesuai dengan usia anak.

Jadi menciptakan suasana lingkungan keluarga dengan aktivitas kegemarannya dalam membaca adalah dengan cara banyak melibatkan partisipasi aktif anak yang berkait dengan buku. Hal ini dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkan minat baca anak serta kecintaannya pada buku secara dini. Dan, peran orang tua dalam memperkenalkan buku-buku yang bermutu pada anak sedini mungkin merupakan hal yang sangat mendasar. [Sita S.Priyadi16740]

Referensi: DR. Murti Bunanta. SS; MA. “Buku, Mendongeng dan Minat Membaca”. Jakarta 1982, Pustangga Tangga.