Senin, 30 Desember 2013

Maestro Dongeng Sunda Wa Kepoh Tutup Usia



Minggu, 29 Desember 2013 03:01 WIB
Pendongeng Wa Kepoh 

TRIBUNNEWS.COM - Pendongeng cerita berbahasa Sunda legendaris, Akhmad Sutisna yang lebih dikenal dengan nama udaranya, Wa Kepoh, kini sudah tiada. Wa Kepoh yang terkenal karena mendongengkan cerita pendekar berbudi baik dari tatar Sunda "Si Rawing" karya Yayat R, melalui stasiun radio di Bandung sekitar tahun 80 dan 90-an itu meninggal sekitar pukul 10.30 WIB, pada usianya menjelang 63 tahun, Sabtu (28/12/2013).

Rumah tinggalnya yang berlokasi di Kompleks Permata Indah Arcamanik Blok D No 9, Kota Bandung pun mendadak didatangi tetangga, saudara, dan teman-teman dekat almarhum. Juru dongeng kahot, kelahiran Bandung 15 Januari 1951 itu meninggalkan tujuh orang anak setelah menderita stroke sejak dua tahun lalu, dan diperparah dengan penyakit diabetes. Setelah pihak keluarga melakukan pemulasaran di rumah duka, jenazah akan dikebumikan Minggu (29/12/2013) pagi di pemakaman umum Cikutra Bandung.

"Bapak memang sudah berpesan, ingin dimakamkan di Cikutra agar dekat dengan keluarga," tutur Asep Syarief Hidayat, anak keempat almarhum, di rumah duka, kemarin. Akibat stroke yang dideritanya selama dua tahun itu lanjut Asep, menjadikan fungsi tubuh ayahnya terganggu sebelah. Upaya pengobatan ke rumah sakit sudah dilakukan keluarganya berulang kali, tetapi tidak menunjukkan hasil yang maksimal.

"Menjelang saat-saat akan meninggal sebetulnya kondisinya lagi stabil. Berbeda dengan kondisi beberapa bulan lalu yang pernah mengalami anfal," katanya.

Bagi keluarga, diakui Asep, Wa Kepoh merupakan sosok ayah panutan. Selain tak kenal lelah dalam bekerja, juga konsisten dengan dunia profesinya yang ternyata banyak memberi manfaat bagi orang lain. Sosoknya yang banyak dinilai orang sebagai pekerja keras itu terlihat, meski dalam kondisi sakit, Wa Kepoh tetap ingin menuturkan cerita-cerita dongengnya. (TRIBUN JABAR/ddh)

Senin, 25 November 2013

“Kisah Puan Tahun” Bag. 2 (Cerita Rakyat Kutai)


Dihimpun oleh Emi
My Grand child (Foto: SP091257)
Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunlah si kakak dari atas pohon jambu, mendekati babi yang sudah mati. Pisau yang ada di leher babi itu lalu dicabutnya, kemudian mulailah dia memotong-motong daging babi itu untuk disalai. Setelah segalanya selesai dikerjakan, termasuk tempat salainya pula, maka termenunglah si kakak memikirkan bagaimana cara mendapatkan api. Sejenak dia berpikir sambil mendongakkan kepalanya ke atas lalu berkata kepada adiknya yang masih ada dalam ayunan. Pada waktu itu adiknya sudah bangun dari tidurnya, “Dek..., ronoh-ronoh awak di ayunan itu, jangan bergerak-gerak yoh! Aku ndak naiki puhun kayu yang tinggi tu, melihat-lihati takut ada taus api urangnya parak”.

Setelah berkata demikian, lalu si kakak menuju ke pohon kayu yang tinggi, lalu memanjat menyusururi akar-akar yang membelit dan bergantung di pohon itu. Ia memandang ke sekelilingnya, memperhatikan kalau-kalau ada asap api yang tampak. Hatinya pun bergembira, karena dari arah barat tampak mengepul-ngepul asap api membumbung ke udara. Tanpak banyak buang waktu, ia pun turun kembali, sambil berkata dalam hatinya, “sudah tentu di dekat sini ada pondok, karena setiap ada asap api, sudah barang tentu ada penghuninya”.
Sesampai di tanah, ia pun menaiki kembali pohon jambu untuk mengambil adiknya untuk dibawa pergi mencari rumah orang yang ada asap apinya sebagaimana yang dilihatnya tadi. Sambil mendukung adiknya, ia pun berjalan menuju ke arah barat naik turun gunung, menyusuri lembah dan dataran tinggi dan dataran rendah. Dari jauh dilihatnya sebuah pondok dengan tiang yang tinggi dan besar-besar. Ia merasa heran melihat pondok besar itu, karena tidak seperti biasanya pondok yang dihuni oleh manusia biasa. Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik dan penghuni pondok itu. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan api, maka diputuskan oleh kedua kakak beradik ini untuk berjalan terus menuju pondok tersebut meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Ketika diketahui penghuni pondok itu adalah dua Uan Gergasi (raksasa) suami istri, si kakak menjadi ketakutan, badannya menggigil, jantungnya serasa copot, kakinya terasa lemah dan bergetar hampir  tak kuat lagi untuk berdiri.    
Dari dalam pondok besar itu terdengar suara raksasa laki-laki berkata kepada istrinya, “Grrr... hmmm,nyam, nyam, nyam, ada bau manusia di dekat sini istriku! Baunya telah kucium, hmmm... grrr... dan kita harus hati-hati istriku, karena manusia umumnya licik dan sangat pintar”.


Tidak berapa lama kemudian, tampaklah kedua Uan Gergasi  suami istri itu turun dari pondoknya, untuk merampas hewan ternak manusia yang ada di sekitar kampung. Sebelum berangkat kedua Uan Gergasi itu menghitung semua harta benda yang ada di pondoknya khawatir  kalau-kalau sepeninggal mereka mencari khewan ternak ada yang mencurinya. Dari yanng besar sampai yang kecil. Bahkan kayu api pun mereka hitung juga. Setelah mereka selesai menghitung harta bendanya barulah mereka berangkat meninggalkan pondoknya dengan perasaan aman.
Sementara Uan Gergasi pergi, kedua kakak beradik yang bersembunyi di semak-semak segera mendekati pondok Uan Gergasi, lalu naik melalui tangga menuju ke dalam pondok. Tiba di muka pintu yang kebetulan tidak ditutup mereka langsung masuk menuju dapur untuk mengambil sebatang kayu api yang masih menyala dan terus kembali pulang menuju pohon jambu tempat tinggalnya.
Tiba di pohon jambu tempat tinggalnya, si kakak mendudukkan adiknya di tanah lalu menyalai daging babi dengan kayu api yang tadi dicurinya di pondok Uan Gergasi. Sedang asyik mereka makan salai daging babi, tak dinyana dan tak disangka-sangka kedua Uan Gergasi suami istri datang sambil berkata, “Grrr... hmmm..., nyammm...nyammm...nyammm..., eee... manusia, eee... halus, eee..., huaaa... ha, ha, ha, haaa..., kamu berdua akan kami makan, nyammm, nyammm... kamu telah mencuri kayu api di pondok kami...!!!”
Mendengar kata-kata dan ancaman suami istri Uan Gergasi yang laksana guntur di siang hari, menggigillah tubuh kedua kakak beradik itu ketakutan, dan berkata hiba memohon ampun, “Oh, Uan Gergasi berdua, ampunilah kami, jangan makan kami, sebab tubuh kami terlalu kecil dan tidak akan membuat kenyang Uan Gergasi berdua”.
Mendengar penuturan kakak beradik itu, Uan Gergasi laki-laki berkata, “Grrr..., kamu betul juga. Hmmm... eee... baiklah, kamu berdua masih kuampuni, tetapi musti ada penggantinya, hmmm... glek, glek, glek... nyammm, nyammm... Oya, salai babi ini kuambil semuanya... grrr... glek, glek, glek!”
“Baiklah kakek dan nenek Uan Gergasi, tapi tinggalkanlah barang sepotong untuk makan kami berdua!” demikian pinta kakak beradik dengan kata-kata dan tubuh yang masih menggigil ketakutan.
Sepeninggal kedua Uan Gerdasi, si kakak mencari akal bagaimana caranya agar bisa mengambil kembali daging babi yang sudah dirampas  oleh suami istri Uan Gergasi itu. Ketika malam tiba, maka kedua kakak beradik itu mendatangi pondok kediaman Uan Gergasi. Setiba di sana lalu keduanya bersembunyi di bawah kolong pondok itu sambil mencari akal bagaimana cara menaiki tangga dan masuk ke dalam  pondok Uan Gergasi. Saat mereka berpikir keras mencari cara masuk ke dalam pondok, tiba-tiba terdengar suara istri Uan Gergasi berbicara kepada suaminya, “Etam ni leh... tubuh etam besar panggar, apa jua ndik ada etam takuti. Jadi etam ini ndik ada nya dapat berani melawan etam. Dada etam aja tujuh bidas, tinggi etam tujuh depa, mitu jua dengan jeriji tangan etam, tegak pisang kampar. Adakah lagi ya dapat mengalahkan etam, dan amun nya ada, coba hak padahi aku, kan nyaman ku tahu”. (Bersambung)

Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor

Sita Blog: "NINA BOBO": “Kisah Puan Tahun” Bag. 2 (Cerita Rakyat Kutai): Dihimpun oleh Emi My Grand child (Foto: SP091257) Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunl...

Sabtu, 16 November 2013

Cerita Rakyat Kutai: “KISAH PUAN TAHUN” Bag. 1 Diceritakan Oleh Sita Rose

Dihimpun oleh Emi
Sita Rose
Nina Bobok – Sabtu, 16 November 2013 - Diceritakan dahulu kala, di tengah-tengah hutan yang lebat, Kalimantan, tinggal dan hidup sepasang suami istri beserta dua orang anaknya.  Kedua orang tua ini sudah berusia setengah umur, sedangkan kedua anaknya, yang sulung berusia lebih kurang dua belas tahun, dan yang bungsu berumur lebih kurang lima tahun. Keadaan hidup mereka sangat menyedihkan karena hanya hidup dari berhuma atau berladang. Meskipun tiap-tiap tahun selalu mendapat padi dari hasil humanya, namun masih selalu hidup dalam kekurangan. Keadaan semacam itu berjalan terus-menerus dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang cukup berarti bagi mereka. Keadaan semacam inilah yang mempengaruhi kehidupan mereka dan anak-anak mereka tanpa ada batasnya.
Jika kedua suami istri ini pergi ke huma, maka anaknya yang sulung mengasuh adiknya di pondok. Dalam keseharian tampak nyata, bahwa kedua orang tua ini tidak menyukai atau membenci kedua orang anaknya. Kalau hendak menanak nasi, ditunggunya dahulu kedua anaknya itu tidur, dan jika sudah masak bergegas mereka makan dengan lahapnya sampai tak tersisa. Hanya kerak-kerak nasi saja yang diberikan kepada kedua anaknya.
Saat sampai pada musim membuat huma atau ladang, kedua suami istri itu pun bekerja memenebas hutan lebat. Sedang asyik mereka menebas hutan, terdengar kedua anaknya berteriak minta makan, “Ooo... pak, ooo... mak, perut kami lapar, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”. Mendengar kedua anaknya minta makan, bapaknya menyahut: “Kendia dulu... nak, etam sedang menebas huma!”.
Sejak menebas hutan sampai menebang kayu yang sudah memakan waktu hampir setengah hari itu, kedua anaknya belum juga diberi makan. Maka terdengar lagi teriakan kedua anaknya yang kelaparan, “Oo... pak, ooo... mak, perut kami lapar sekali, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”.
Mendengar itu lalu ibunya menyahut pula, “Kendia dulu nak, etam lagi nebangi kayu!” Setelah mendengar jawaban ibunya itu, maka berdiamlah kedua anaknya itu di dalam pondok. Dari menebang kayu, menebar reba sampai membakar dan menduru, kedua anaknya selalu berteriak minta makan, tetapi selalu dijawab secara berganti-ganti oleh kedua orang tuanya. Demikian peristiwa itu terjadi terus menerus. Sejak mulai menanam, merumput, mengetam atau memotong, hingga akhirnya sampai pada menumbuk padi untuk mendapatkan beras baru, selalu terdengar suara anaknya berteriak-teriak minta makan dan selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “etam dulu nak, karang dulu nak, nasi etam parak masak”.
   
Ketika nasi sudah masak, terdengar lagi kedua anaknya berteriak minta makan. Maka dijawab oleh orang tuanya: “Baik, sekarang pergilah nak, ngalak daun pisang di pinggir huma etam, tu!”. Jawab ibunya sambil memberikan sebilah pisau kepada anaknya. Anaknya segera turun dari pondok, sambil membopong adiknya lalu mendekati kedua orang tuanya mengambil pisau untuk memotong daun pisang kemudian berjalan menuju ke sebuah huma yang kata kedua orang tuanya ada pohon pisangnya. Akan tetapi di sana ternyata tak ada pohon pisangnya. Maka anaknya bertanya lagi kepada orang tuanya, “Mana pohon pisangnya, mak?” dijawab oleh ibunya, ”Nun, jauh lagi nak! ‘tu di pinggir huma sana, kalau masih tak ada terus saja berjalan terus sampai ke hutan sana!” Anaknya yang sulung sambil menggendong adiknya kembali ke huma bahkan terus berjalan menuju kedalam hutan sebagai mana yang diperintahkan oleh orang tuanya.
Sementara kedua anaknya berjalan menuju hutan untuk mengambil daun pisang, kedua suami istri itu segera makan nasi yang telah dimasaknya tadi sampai tak tersisa. Setiba di hutan, sambil menurunkan adiknya, berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik, rupanya bapak dan ibu kita sudah tak suka lagi kepada kita berdua, dan tak menganggap lagi kita sebagai anaknya. Kita berdua disuruhnya mengambil daun pisang sampai jauh di hutan ini, sedang mereka berdua makan dengan lahapnya di pondok. Lebih baik kita berdua pergi saja dan tak usah kembali lagi. Biarlah kita berdua mati kelaparan di dalam hutan lebat ini dari pada kembali ke pondok”.
Setelah berkata demikian, maka kedua kakak beradik itu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan. Sampai berhari-hari mereka berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Jika malam tiba mereka beristirahat dan tidur di sela-sela akar kayu. Jika pagi menjelang mereka kembali berjalan tanpa tujuan. Untuk bertahan hidup mereka makan pucuk-pucuk daun muda.
Saat matahari mulai condong ke barat tanda hari mulai menjelang petang, kedua kakak beradik itu menemukan pohon jambu biji yang buahnya demikian lebat.  Karena perutnya sudah demikian lapar, maka tanpa pikir panjang lagi sang kakak sambil mengendong adiknya memanjat pohon jambu biji itu dan memetiknya. Di atas batang jambu yang cukup kuat mereka membuat para-para untuk tinggal sementara menghindari binatang buas yang berkeliaran di malam hari karena pada saat itu hari pun sudah mulai gelap. Setelah selesai membuat para-para adiknya diletakkan di atas para-para, sedangkan kain yang tadi dipakai untuk menggendong adiknya tadi digantungkan pada sebuah dahan sebagai ayunan tempat tidur adiknya.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu bertahan hidup. Jika lapar mereka makan buah jambu biji yang banyak mengelantung di sekitar mereka. Tempat tinggal mereka di atas dahan pohon jambu itu diperbaiki, diberi atap dan dinding yang terbuat dari daun-daun “betete” yang banyak berserakan di sekitar mereka.
Suatu ketika, di pagi hari yang cerah, saat sang kakak menunggui adiknya yang sedang tidur di dalam ayunan, lewat seekor babi hutan yang sedang kelaparan. Babi itu memakan jambu-jambu biji yang banyak jatuh berserakani bawah pohon jambu biji itu. Melihat peristiwa ini, timbul pikiran sang kakak untuk membunuh babi itu sebagai santapan sedap di pagi hari dengan menggunakan pisau raut yang dibawanya untuk memotong daun pisang. Sang kakak pun kemudian memetik buah jambu biji yang sudah masak, lalu dipotong-potongnya jambu biji tersebut menjadi beberap potong. Jambu-jambu biji itu kemudian dimasukkan secara berjejer ke dalam pisau rautnya yang tajam itu. Beberapa saat kemudian sang kakak menjatuhkan potongan-potongan jambu biji yang berjejer pada pisau rautnya itu ke tanah dengan sang babi hutan sedang mengendus-endus buah jambu. Melihat potongan buah jambu biji yang demikian menggiurkan dengan warna merahnya, babi hutan tersebut langsung memakan buah jambu tersebut sampai pisau rautnya pun ikut ditelannya. Begitu ditelan tentu saja pisau raut yang tajam itu menusuk dan merobek tenggorokan babi hutan yang kelaparan itu. Merasa kesakitan, babi hutan itu mengguik-guik panjang, dan berputar-putar,darah segar mengucur deras dari leher dan tenggorokannya yang robek, mengelepar jatuh dan mati saat itu juga. (Bersambung)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor
Sita Blog: "NINA BOBO": Cerita Rakyat Kutai: “KISAH PUAN TAHUN” Bag. 1 Dic...: Dihimpun oleh Emi Sita Rose Nina Bobok – Sabtu, 16 November 2013 - Diceritakan dahulu kala, di tengah-tengah hutan yang lebat...

Minggu, 06 Oktober 2013

Asal Nama Pulau Nusa Kambangan Diceritakan Oleh Kak Sita

Peta Lokasi Pulau Nusa Kambangan

Blog Sita Rose - Minggu, 06 Oktober 2013 - Adik-adik, selamat jumpa lagi dengan kak Sita! Kali ini kak Sita akan bercerita tentang  asal nama sebuah pulau yang lokasinya berada di tengah laut selatan  daerah Cilacap, Jawa Tengah.  Pulau ini pun sudah sangat terkenal keberadaannya. Di sana terdapat sebuah rumah tahanan atau penjara  yang diperuntukkan khusus bagi para penjahat kelas berat.  Pulau itu bernama “Nusa Kambangan”.
Lapaz di Pulau Nusa Kambangan
Adik-adik, di sekolah, guru sejarah kalian tentu sudah memberikan materi pelajaran tentang kerajaan-kerajan yang memerintah di daerah Jawa Tengah yang salah satunya adalah kerajaan Kediri.   

Nah, adik-adik! Dari sinilah cerita ini kak Sita mulai. Ketika Kerajaan Kediri diperintah oleh seorang raja bernama Prabu Aji Pamoso, ada seorang resi yang sangat terkenal bernama Resi Kano. Dia sangat mumpuni, digdaya, sakti mandraguna. Oleh karena kesaktian yang dimiliki Resi Kano inilah membuat  Prabu Aji Pamoso justru merasa khawatir, dan was-was. Ia tak mau walau satu orang pun di kerajaan Kediri ada yang bisa melampaui kesaktiannya. Menurutnya itu bisa akan membahayakan posisi, dan kewibawaan dirinya apabila  selaku raja penguasa merosot jatuh turun kewibawaannya di mata rakyat Kediri yang diperintahnya. 

Menyadari  posisinya selaku raja Kediri merasa terancam, maka dicarilah satu cara untuk mengusir dan membunuh Resi Kano. Maka diperintahkan segenap prajurit dan para senopati handal untuk mengusir Resi Kano dari Kerajaan Kediri kemudian membunuhnya. Sebagai seorang resi yang mumpuni, yang memiliki kemampuan linuih, Resi Kano mengetahui rencana jahat dan licik Prabu Aji Pamoso. Secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi Resi Kano pun pergi meninggalkan Kediri menuju suatu tempat sepi dan tersembunyi di daerah pesisir selatan Pulau Jawa, daerah Cilacap. Di tempat itu ia mencari lokasi tempat untuk bersamadi dan bertapa.

Rupanya kepergian Resi Kano dengan secara sembunyi-sembunyi telah diketahui Prabu Aji Pamoso. Segera ia pun memerintahkan kepada segenap prajurit dan senopati handalnya untuk mengejar dan memburu terus Resi Kano sampai berhasil ditangkap atau dibunuh.  Suatu ketika keberadaan Resi Kano dapat dijumpainya. Maka terjadilah perkelahian yang tak seimbang, Resi Kano dikeroyok oleh para prajurit dan dua orang senopati Kediri. Akan tetapi dengan kesaktian yang dimilikinya para prajurit dan salah seorang senopati Kediri dapat dikalahkannya hingga tewas. Melihat kenyataan Resi Kano bukanlah tandingannya, sebagian prajurit dan salah seorang senopati kembali ke Kediri dengan membawa kekalahan yang sangat memalukan. Dan peristiwa itu dilaporkan kepada Prabu Aji Pamoso. Mendengar berita kekalahan tersebut, Prabu Aji Pamoso menjadi sangat kecewa, marah, berang bukan alang kepalang. Maka berkatalah ia kepada senopatinya:

“Baiklah jika demikian! Senopati, siapkan sepuluh orang prajurit handal untuk membantu menangkap dan membunuh Resi Kano. Kali ini aku sendiri yang akan memimpin penangkapan dan pengejaran itu”. 

“Baik, paduka! Segera hamba laksanaka!” Maka oleh senopati dipilihlah sepuluh prajurit pilihan yang tingkat kemampuan bela dirinya di atas rata-rata prajurit yang lain.

Singkat cerita,  maka  berangkatlah  sepuluh  orang  prajurit  pilihan  dan  seorang  senopati  yang dipimpin sendiri oleh Prabu Aji Pamoso  menuju tempat persembunyian Resi Kano di pesisir selatan dekat dengan Cilacap.  Sesampai di tempat persembunyian Resi Kano, Prabu Aji Pamoso melihat sendiri Resi Kano sedang bersamadi dengan tubuh pantang bergerak.  Resi Kano sesungguhnya sudah mengetahui kehadiran Prabu Aji Pamoso dan segenap prajuritnya. Akan tetapi ia terus melanjutkan tapa bratanya karena ia sudah terlanjur melakukan samadi tanpa boleh bergerak sebelum samadi itu selesai tahap demi tahap dilakukan seluruhnya. Ia hanya bisa berserah diri  kepada Tuhan dan merapal aji kekebalan tubuhnya sebagai penjagaan pamungkasnya.

Sementara itu Prabu Aji Pamoso dengan para prajurit dan senopati yang mengikutinya dari belakang terus mengendap-endap  mendekati tubuh Resi Kano yang masih bersamadi tanpa mengindahkan keadaan sekelilingnya itu. Pada satu kesempatan Prabu Aji Pamoso mencabut keris sakti ‘Kyai Kubur  Sayuta Wisa’ andalannya yang tak pernah gagal dalam membunuh musuh-musuhnya dalam setiap pertempuran. Keris sakti itu dihunuskan dan dihujamkan ke tubuh Resi Kano dengan sebatnya. Ia tak mau menemui kegagalan lagi  karena Resi Kano memang dikenalnya sebagai seorang resi yang sangat linuih. Jika Resi Kano tidak dalam keadaan bersamadi pantang tubuh bergerak tentu ia tak akan berhasil membunuh Resi Kano.

Pada tusukan pertama, dan kedua tubuh Resi Kano tak luka sedikitpun.  Keris sakti Kubur Sayuta Wisa itu tak bisa melukai tubuh Resi Kano yang masih dalam posisi bersamadi tanpa bergerak.  Hal ini membuat panas dan penasaran Prabu Aji Pamoso. Sejenak ia pun merapal Aji Panglebur Jagad kemudian menghujamkan kembali keris saktinya. Maka seketika itu juga mengucurlah darah segar dari dada Resi Kano yang tewas dan perlaya saat itu juga. Tak ada jeritan, tak ada erangan dari mulut Resi Kano. Bersamaan dengan tewas perlayanya jiwa Resi Kano, lenyap pula raga Resi Kano hilang tanpa bekas.  Seketika itu juga terdengar suara gemuruh angin ribut yang berhembus kencang sungguh sangat  menakutkan. Prabu Aji Pamoso segera merapal aji-aji penghilang rasa takut untuk menghilangkan gemetar tubuhnya dan rasa takut yang menghantui jiwanya.

Sejenak kemudian suara gemuruh yang menggidikkan bulu roma  itu pun reda, saat itu muncul ular besar berupa naga raksasa  mendesis-desis ingin memangsa Prabu Aji Pamoso. Karena tubuh ular yang sedemikian besar  dan suara desisnya yang demikian luar biasa menyeramkan itu, sampai-sampai ombak laut selatan pesisir  Cilacap semakin tinggi menggulung-gulung. Suaranya bergemuruh sungguh menyeramkan. Melihat keadaan semacam ini, Prabu Aji Pamoso segera mengeluarkan panah saktinya yang bernama ”Kyai Guntur Sakethi”  lalu diarahkan ke Ular besar yang mendesis-desis ingin memangsa dirinya itu. Sssssssssssuiiing... suara desingan anak panah sakti Prabu Aji Pamoso tepat mengenai dada ular raksasa yang mati seketika karena jantungnya terkena senjata panah sakti Kyai Guntur Sakethi milik Prabu Aji Pamoso. Akan tetapi terjadi keajaiban, dari tubuh ular besar yang mati terkena panah itu muncul seorang gadis layaknya putri kayangan yang cantik jelita. Ditangan kanannya memegang setangkai bunga yang indah. Putri itu berlari-lari di atas air laut sambil memanggil-manggil nama sang Prabu Aji Pamoso. Dengan kesaktiannya pula Prabu Aji Pamoso datang menghampiri Putri cantik penghuni satu-satunya pulau kecil berbatu karang itu. Sementara prajurit dan senopatinya menunggu di pesisir pantai Cilacap.

Kembang Cangkok Wijaya Kusuma
“Wahai Sang Prabu, Raja Kediri yang gagah perkasa, terima kasih atas bantuan dan pertolongan sang Prabu yang telah membebaskan aku dari kutukan. Dan, kini aku telah kembali menjadi manusia seperti ujudku semula. Sebagai balas jasa hamba kepada sang Prabu maka hamba mempersembahkan kembang  Cangkok Wijaya Kusuma ini kepada sang Prabu. Bunga ini berasal dari kayangan, dan bagi siapa saja yang memiliki bunga ini maka dia akan menurunkan raja-raja yang berkuasa di tanah Jawa. Dan, satu lagi sang Prabu! Sang Prabulah orang satu-satunya yang menjadi saksi bahwa pulau karang yang hamba tempati ini  hamba beri nama  “Nusa Kembangan”. Karena di pulau inilah hamba menyerahkan Kembang Cangkok Wijaya Kusuma kepada sang Prabu.
Setelah memberikan Kembang Cangkok Wijaya Kusuma kepada sang Prabu Aji Pamoso, Putri kayangan itu lenyap kembali ke alamnya.  Konon Putri kayangan tersebut adalah penjelmaan Nyi Ratu Kidul, penguasa laut Selatan yang di daerah Cilacap dikenal dengan nama Dewi Wasowati.
Lukisan Ratu Pantai Selatan "Nyi Roro Kidul"
Saat Prabu Aji Pamoso hendak kembali ke pantai menemui prajurit dan senopatinya dengan membawa Kembang Cangkok Wijaya Kusuma, tiba-tiba dirasakan kesaktiannya punah, ia tak bisa menyeberangi Laut Selatan dengan kedua kakinya menapak di atas air. Iapun tenggelam ke dasar laut pulau Nusa Kembangan dan tewas seketika itu juga bersama Kembang Cangkok Wijaya Kusuma pemberian dari puteri kayangan yang bebas dari kutukan. Hingga kini pulau karang itu dikenal dengan nama pulau Nusa Kambangan. (Rabu,06/10/2013SP091257)

Sabtu, 05 Oktober 2013

"Pandhegan Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sira Sapa Ingsun"



Gunungan
www.suaramerdeka.com Sabtu, 23 Februari 2013 | 13:10 wib - Adigang, adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Adigang adalah ’kijang’ adigung ’gajah’ dan adiguna ’ular’ ketiganya mati bersama dalam pertikaian karena kesombongan masing-masing. Pemimpin (pandhegan) yang baik menghindari sikap aji mumpung, mumpung kuwasa, tumindak nistha, seperti ungkapan Ranggawarsita dalam Serat Sabdatama.

Pimpinan jangan diserahkan kepada yang tidak mau, maupun mereka yang ambisi, karena yang berambisi umumnya memiliki motivasi lain, seperti aji mumpung. Sifat aji mumpung bertentangan dengan dharma seorang pemimpin. Ia harus rendah hati, bijak, adil dan ber budi bawa leksana. Hal itu diungkapkan oleh Ranggawarsita dalam Serat Witaradya, bahwa seorang raja yang besar, watak narendra gung binathara, mbaudhendha hanyakrawati, kutipan berikut: Dene utamaning nata, berbudi bawa laksana, lire ber budi mangkana, lila legawa ing driya, hanggung hanggeganjar saben dina, lire kang bawa laksana, hanetepi ing pangandika.

Pemimpin bangsa telah dipilih, melalui pileg dan pilpres. Siapa pun mereka pilihan bangsa. Tempat menggantungkan harapan dan masa depan yang lebih baik di bumi yang gemah ripah loh jinawi, subur kang sarwa tinandur, murah kang sarwa tinumbas, tata titi tentrem kerta raharja, dalam arti murah sandang pangan seger kuwarasan, bukan hanya slogan. Mutiara kata itu harus direalisasikan oleh mereka yang mendapatkan amanah, sebagai perwujudan lukisan negeri Amarta yang didendangkan ki dalang dalam pentas wayang. Bukan sekedar impian, dengan memanfaatkan potensi alam anugerah Allah Swt. yang membentang sepanjang khatulistiwa, dalam bentuk hutan, gunung, laut dan sungai, simpanan harta karun yang tak ternilai harganya. Semua dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Mereka harus bekerjasama saiyeg saekapraya membangun bangsa. Eksekutif, legislatif dan yudikatif memiliki tugas membangun negara dan bangsa. Sebagai pemimpin mereka memiliki tanggung jawab yang cukup berat. Kesejahteraan rakyat tidak bisa diwakilkan, tetapi direalisasikan. Bila wakil rakyat hidup sejahtera bukan berarti rakyat pun meraskannya.

Janji
Pemimpin harus memegang teguh janji yang diucapkan di depan rakyat. Janji adalah hutang, yang wajib dibayar. Sabda pandhita ratu salah satu falsafah Jawa dan konsep pengejawantahan janji adalah hutang, yang didukung frase ajining diri saka obahing lathi ajining sarira saka busana, aja waton omong nanging omonga nganggo wawaton, ilat ora ana balunge, esuk dhele sore tempe, mencla-mencle, bukan sikap seorang pemimpin, melainkan konsep sedikit bicara banyak bekerja yang sebaiknya dipegang teguh. Mereka dipercaya oleh rakyat. Mengembalikan kepercayaan yang hilang lebih sulit dari pada membangunnya. Falsafah Jawa mengatakan bahwa drajat, pangkat lan semat bisa oncat. Hal itu menjadi bahan pertimbangan bagi para pemimpin. Di dunia tidak ada yang langgeng. Semua serba sementara, bagaikan kilat menyambar sekejap tanpa bekas. Saat mejabat ia terhormat dan dipuja, pergantian tiba, ia dihujat dan dihina, kawan dan sahabat seakan tak mengenalnya. Ia dilupakan. Mengenaskan.

Masyarakat Jawa percaya bahwa wahyu kaprabon, dalam diri seorang pemimpin masih ada. Asal pemimpin masih sanggup memberikan pangayoman, maka rakyat akan loyal. Seorang pemimpin harus waspada. Sebab di antara punggawa ada yang mbalela, sengaja berkhianat demi jabatan yang diincarnya. Bagi masyarakat konsep ratu adil, wahyu dan pulung merupakan trilogi dalam demokrasi. Sedangkan trilogi yang dianut oleh kraton Mangkunagaran, melu handarbeni, wajib hangrukebi, mulat sarira munggengwani. Bahwa seorang pemimpin harus merasa memiliki, membela kebenaran dan mawas diri. Mau mengakui kasalahan pribadi tanpa menyalahkan orang lain.

(Eko Wahyu Budiyanto/CN37)
Sita Blog: "NUSANTARAKU": Pandhegan Aja "Adigang, Adigung, Adiguna, Sapa Sir...: Gunungan www.suaramerdeka.com – Sabtu, 23 Februari 2013 | 13:10 wib - Adigang , adigung, adiguna, sapa sira sapa ingsun. Adigang adala...

Sabtu, 17 Agustus 2013

A. Soebli Arief: “ASAL-USUL DANAU JEMPANG” (Cerita Rakyat Kutai) Diceritakan Kembali Oleh Kak Sita



Blog Sita Rose – Minggu, 18 Agustus 2013 – 11:11 WIB :  Kecamatan Tanjung Isuy yang terkenal dengan dara-dara Tunjungnya, yang pandai membawakan tarian khas daerahnya baik tua maupun muda, tentu tak akan memisahkan nama Tanjung Isuy dengan danau Jempangnya. Nama Tanjung tak akan lebih dikenal tanpa danau Jempang. Tak jauh dari Danau Jempang dengan pemandangan alamnya yang asli dan indah, ditambah lagi kesayupan mata memandang, berdiri pula dengan megahnya Gunung Meratus.

Menurut sahibul hikayat, pada waktu dahulu Danau Jempang belumlah ada. Danau Jempang berasal dari sebuah gunung yang bernama Gunung Jempang. Selain Gunung Jempang berdiri pula Gunung Nungan, Gunung Konyut, dan Gunung Pamungkas.

Diceritakan, suatu ketika datanglah Ayus yang disuruh oleh Lintang Olo untuk menjumpai Gunung Nungan, Gunung Jempang, Gunung Konyut, Gunung Meratus, dan Gunung Pemangkas, untuk membicarakan masalah peleburan gunung-gunung tersebut demi mudahnya daerah tersebut dikunjungi orang. Apabila mereka (Gunung-gunung) masih merupakan gunung, maka akan sulit orang berkunjung ke sana. Paling-paling tebatas hanya pada orang-orang yang memang berniat untuk pergi ke sana saja. Atas saran dan anjuran Ayus, mereka semua sepakat dan berjanji bahwa gununung-gunung itu bersedia untuk dilebur menjadi air. Ayus pun berjanji, bahwa dalam waktu delapan hari delapan malam mereka semua akan meleburkan diri menjadi air.

Tepat pada hari yang dijanjikan, maka leburlah Gunung Jempang menjadi air berbentuk danau. Ketika Gunung Jempang menoleh ke Gunung Meratus, Gunung Nungan, Gunung Konyut, ternyata mereka masih tetap berdiri megah di tempatnya menjadi bagian dari Gunung Meratus. Melihat semua ini, betapa marahnya Gunung Jempang yang telah berubah menjadi air itu, sambil mengucap kata-kata, “Gunung Meratus kau ternyata mengingkari janji!”

Gunung Meratus menjawab, “Aku tidak mengingkari janji, Jempang. Akan tetapi jika kita semua menjadi air menurutku itu akan tidak bagus. Maka aku lebih memilih tetap menjadi gunung, menjadi perhiasan kau Jempang!”

Akan tetapi, Jempang yang sudah menjadi danau itu semakin marah tak bisa mengendalikan emosinya. Ia pun bersumpah serapah, “Baik! Jika demikian aku akan balas dendam, barang siapa yang menyeberangi atau mengarungi Danau Jempang ini dengan menyebut nama Gunung Meratus, maka di saat itu juga akang datang angin topan yang sangat dahsyat, dan itu sebagai tanda kemarahanku!”

Konon sampai sekarang orang-orang yang mengarungi Danau Jempang tabu untuk menyebut nama Gunung Meratus karena takut terkena musibah terkena sumpah Danau Jempang yang tadinya berasal dari Gunung Jempang. (SP091257)

Sumber:
DEPDIKBUD 1979. "Kumpulan Cerita Rakyat Kutai". Dewan Redaksi Penerbitan Kutai 

Posted:
Sita Rosita Pangarakan, Bogor

Jumat, 16 Agustus 2013

Masdari Ahmad: “Asal-Usul Danau Lipan” (Cerita Rakyat Kutai) Diceritakan Kembali Oleh Kak Sita


Lipan-lipan menyerang bala tentara China
Blog Sita Rose – Jumat, 16 Agustus 2013 – 20:11 WIB – Adik-adik, selamat jumpa lagi dengan kak Sita. Oya, kali ini kakak akan bercerita tentang asal-usul Danau Lipan yang lokasinya berada di Kecamatan Muara Kaman. Kira-kira 120 km di hulu Tenggarong, Kabupaten Kutai, Kalimantan Timur. 
 
Adik-adik, di dalam sejarah Muara Kaman tercatat sebagai tempat berdirinya kerajaan Hindu pertama dan tertua di Nusantara yaitu Kerajaan Mulawarman. Di belakang Kantor Camat Muara Kaman yang menghadap ke Sungai Mahakam, jelasnya di belakang kota Muara Kaman, terdapat padang luas yang ditumbuhi semak belukar dan pohon perdu. Padang luas tersebut diberi nama Danau Lipan karena dahulunya tempat itu merupakan sebuah danau yang cukup luas menyerupai lautan. Memang Muara Kaman ini termasuk daerah pesisir Brubus, kampung Muara Kaman Ulu yang sekarang dikenal bernama Benua Lawas. Karena berlokasi di tepi laut, maka tempat ini menjadi bandar yang ramai dan banyak dikunjungi orang dari berbagai negeri termasuk negeri China. Adik-adik tercinta, dari sinilah kak Sita akan memulai ceritanya. Selamat membaca!
Diceritakan sebuah kerajaan yang amat terkenal dipimpin oleh seorang wanita berparas cantik jelita, sakti mandraguna bernama Putri Aji Bedarah Putih. Diberi nama demikian karena jika sedang nginang makan sirih, dan menelan air sepahnya, maka air sepah yang berwarna merah itu nampak terlihat mengalir di kerongkongannya.
Kecantikjelitaan, kemolekan, dan kesaktian serta keanehan Putri Aji Bedarah Putih telah membuat seorang raja China tergiur untuk meminangnya. Dengan segenap para pengawal dan prajurit andalannya maka berangkatlah sang raja China ini dengan menumpangi Jung-nya (kapal besar) berlayar menuju kerajaan Putri Aji Bedarah Putih di Muara Kaman, Kutai.  Sesampai di daratan Muara Kaman, raja China langsung menuju istana kerajaan Putri Aji Bedarah Putih dan mengutarakan maksudnya hendak melamar, meminang sang Putri menjadi permaisurinya. 
Sebelum sang raja China mengucapkan kata-kata pinangan, Putri Aji Bedarah Putih menjamu raja China dengan berbagai jamuan dan hidangan makanan untuk disantap bersama-sama sang Putri. Sesungguhnya Putri Aji Bedarah Putih bermaksud menguji sampai sejauh mana perangai dan sikap sebagai seorang raja dalam beretika. Saat raja China menyantap makanan dalam jamuan tersebut dengan menyosop layaknya seekor anjing sedang makan, sang putri merasa jijik melihatnya. Bagaimana mungkin itu bisa dilakukan oleh seorang raja besar yang memiliki pasukan kuat dan para pengawal yang hebat luar biasa. Ia merasa tersinggung dengan prilaku raja China yang jorok. Makan tidak dengan tangan tetapi dengan mulut, menyosop seperti seekor anjing. Bagi sang Putri Aji Bedarah Putih ini merupakan penghinaan dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan etika pergaulan di negerinya. Setelah selesai menyantap hidangan, sang Putri Aji Bedarah Putih pun menolak keras pinangan sang raja China dengan berkata, “Bagaimana mungkin saya bisa hidup berdampingan dengan orang yang cara makannya saja sangat tidak saya sukai. Dan, betapalah hinanya seorang putri berjodoh dengan manusia yang cara makannya layaknya seekor anjing.”  
Mendengar kata-kata penolakan dan hinaan yang menyakitkan hatinya itu tentu saja sang raja China menjadi sangat berang dan marah luar biasa. Untuk membalas rasa malu dan rasa sakit hati yang luar biasa maka tak ada jalan lain dengan menghancurkan negeri Muara Kaman dan kerajaannya yang dipimpin Putri Aji Bedarah Putih. Berkatalah sang Raja China dengan kemarahan disertai ancaman kepada sang Putri, “Hm, sungguh tak kusangka jika mulutmu sungguh bertolak belakang dengan kecantikanmu. Tunggulah kehancuran negerimu, segenap rakyatmu, dan kerajaanmu akan aku musnahkan, akan aku hancurkan, akan aku luluhlantakkan hingga menjadi debu!”
Setelah berkata demikian maka raja China dengan para pengawalnya pergi begitu saja meninggalkan sang Putri Aji Bedarah Putih yang masih duduk disinggasananya dengan sikap penuh keberanian dan sikap menantang.
Siang hari itu terjadilah perang dahsyat. Prajurit-prajurit handal dari pasukan China yang dipimpin langsung oleh rajanya yang telah sakit hati, menyerbu kerajaan Putri Aji Bedarah Putih dengan beringas membunuh semua prajurit Muara Kaman yang memang kalah dalam segala-galanya baik jumlahnya maupun tingkat kedigdayaannya. Bala tentara kerajaan China yang dipimpin rajanya bagaikan air bah, gelombang pasang lautan yang datang menghanyutkan apa saja, menyerbu bala tentara Putri Aji Bedarah Putih hingga luluh lantak perlaya tewas seketika tak tersisa satu pun jua.
Melihat pasukan dan segenap rakyat negerinya pupus, hancur musnah, sang Putri Aji Bedarah Putih demikian sedih. Dia menjadi murka tiada tara kepada seluruh tentara China dan rajanya yang telah menghancurkan negerinya. Sang Putri segera memakan sirih yang ada ditangannya dan mengunyahnya sambil berkata di depan Sumur Air Berani, tempat air suci sumber kekuatan sang Putri Aji Bedarah Putih dan Kerajaannya, “Jika benar aku ini tutus raja sakti, maka jadilah sepah-sepah sirihku ini menjadi lipan-lipan besar yang mampu memusnahkan raja China beserta seluruh bala tentaranya.” Setelah berkata demikian, disemburkannya semua sepah-sepah yang ada di mulutnya ke arah bala tentara China yang masih berada di arena pertempuran berkacak pinggang dengan sombongnya. Sejenak kemudian sepah-sepah sirih itu berubah menjadi lipan-lipan besar melebihi ukuran lipan sebenarnya. Lipan-lipan itu dengan cepat menyebar mengejar dan membunuh dengan bisanya seluruh bala tentara China yang ada. Raja dan segenap pengawal yang masih tersisa berlari tunggang langgang menuju pantai tempat berlabuh Jung, kapal sang raja China. Akan tetapi lipan-lipan sang Putri Aji tak memberi ampun, dan terus mengejar bala tentara China hingga kekapal. Sampai akhirnya semuanya tewas tenggelam bersama kapalnya.  
Bersamaan dengan tenggelam dan tewasnya seluruh bala tentara China beserta rajanya, gaib pula sirna entah kemana sang Putri Aji Berdarah Putih dengan Sumur Air Berani yang menjadi sumber kekuatan sakti itu. Demikian pula dengan lipan-lipan yang berasal dari sepah-sepah sirih sang Putri. Tempat Jung atau kapal raja China tenggelam dan air danaunya yang semakin mendangkal menjadi daratan padang yang luas. Demikian itulah yang sampai sekarang dikenal dengan nama Danau Lipan.
Adik-adik, demikianlah legenda asal nama Danau Lipan. Jadi Danau Lipan yang sekarang hanya merupakan padang luas dengan alur dan kubangan air di sana-sini. Akan tetapi Danau Lipan yang sebenarnya akan nampak jika tiba air pasang atau banjir besar melanda daerah itu. Hal tersebut terjadi kerena semak-semak dan perdu yang terdapat di situ terendam dibawah permukaan air yang menggenanginya. Maka sejauh mata memandang hanya air dan kota Muara Kaman yang nampak kelihatan, dan hal tersebut betul-betul mengingatkan kita pada Muara Kaman tempo dulu saat kota itu masing terapung di atas air danau layaknya lautan. Cerita Danau Lipan dengan Putri Aji Bedarah Putihnya sampai sekarang pun masih hidup di kalangan penduduk Muara Kaman.
Konon di tahun limapuluhan penduduk setempat menemukan rantai besi berukuran besar yang diperkirakan adalah bekas rantai kapal atau Jung raja China yang pernah menyerbu kerajaan Muara Kaman, dan tenggelam di danau karena diserbu oleh lipan-lipan berukuran besar jelmaan dari sepah-sepah yang disemburkan Putri Aji Bedarah Putih yang memerintah saat itu. 
Di tahun enampuluhan, salah seorang penduduk Muara Kaman Ilir yang sedang membersihkan halaman belakang rumahnya melihat seekor lipan besar melintas di hadapannya. Lebar badannya sekitar 20 cm dengan panjang badannya sekitar 1 m. Saking terkesima yang disertai rasa takut melihat lipan sebesar itu orang tersebut menderita demam sawan selama tiga hari. Setelah sadar baru Ia bisa menceritakan kepada tetangganya dengan apa yang dialami dan dilihatnya. Apakah lipan tersebut salah satu tentara dari Putri Aji Bedarah Putih? Entahlah, wallahualam (SP091257)  
Penulis:
Sita Rose SP
Referensi:
Depdikbud 1979. “Kumpulan Cerita Rakyat Kutai”. Dewan Redaksi Penerbitan Kutai

Sita Blog: "NINA BOBO": Masdari Ahmad: “Asal-Usul Danau Lipan” (Cerita Rak...: Lipan-lipan menyerang bala tentara China Blog Sita Rose – Jumat, 16 Agustus 2013 – 20:11 WIB – Adik-adik, selamat jumpa lagi deng...