Senin, 25 November 2013

“Kisah Puan Tahun” Bag. 2 (Cerita Rakyat Kutai)


Dihimpun oleh Emi
My Grand child (Foto: SP091257)
Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunlah si kakak dari atas pohon jambu, mendekati babi yang sudah mati. Pisau yang ada di leher babi itu lalu dicabutnya, kemudian mulailah dia memotong-motong daging babi itu untuk disalai. Setelah segalanya selesai dikerjakan, termasuk tempat salainya pula, maka termenunglah si kakak memikirkan bagaimana cara mendapatkan api. Sejenak dia berpikir sambil mendongakkan kepalanya ke atas lalu berkata kepada adiknya yang masih ada dalam ayunan. Pada waktu itu adiknya sudah bangun dari tidurnya, “Dek..., ronoh-ronoh awak di ayunan itu, jangan bergerak-gerak yoh! Aku ndak naiki puhun kayu yang tinggi tu, melihat-lihati takut ada taus api urangnya parak”.

Setelah berkata demikian, lalu si kakak menuju ke pohon kayu yang tinggi, lalu memanjat menyusururi akar-akar yang membelit dan bergantung di pohon itu. Ia memandang ke sekelilingnya, memperhatikan kalau-kalau ada asap api yang tampak. Hatinya pun bergembira, karena dari arah barat tampak mengepul-ngepul asap api membumbung ke udara. Tanpak banyak buang waktu, ia pun turun kembali, sambil berkata dalam hatinya, “sudah tentu di dekat sini ada pondok, karena setiap ada asap api, sudah barang tentu ada penghuninya”.
Sesampai di tanah, ia pun menaiki kembali pohon jambu untuk mengambil adiknya untuk dibawa pergi mencari rumah orang yang ada asap apinya sebagaimana yang dilihatnya tadi. Sambil mendukung adiknya, ia pun berjalan menuju ke arah barat naik turun gunung, menyusuri lembah dan dataran tinggi dan dataran rendah. Dari jauh dilihatnya sebuah pondok dengan tiang yang tinggi dan besar-besar. Ia merasa heran melihat pondok besar itu, karena tidak seperti biasanya pondok yang dihuni oleh manusia biasa. Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik dan penghuni pondok itu. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan api, maka diputuskan oleh kedua kakak beradik ini untuk berjalan terus menuju pondok tersebut meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Ketika diketahui penghuni pondok itu adalah dua Uan Gergasi (raksasa) suami istri, si kakak menjadi ketakutan, badannya menggigil, jantungnya serasa copot, kakinya terasa lemah dan bergetar hampir  tak kuat lagi untuk berdiri.    
Dari dalam pondok besar itu terdengar suara raksasa laki-laki berkata kepada istrinya, “Grrr... hmmm,nyam, nyam, nyam, ada bau manusia di dekat sini istriku! Baunya telah kucium, hmmm... grrr... dan kita harus hati-hati istriku, karena manusia umumnya licik dan sangat pintar”.


Tidak berapa lama kemudian, tampaklah kedua Uan Gergasi  suami istri itu turun dari pondoknya, untuk merampas hewan ternak manusia yang ada di sekitar kampung. Sebelum berangkat kedua Uan Gergasi itu menghitung semua harta benda yang ada di pondoknya khawatir  kalau-kalau sepeninggal mereka mencari khewan ternak ada yang mencurinya. Dari yanng besar sampai yang kecil. Bahkan kayu api pun mereka hitung juga. Setelah mereka selesai menghitung harta bendanya barulah mereka berangkat meninggalkan pondoknya dengan perasaan aman.
Sementara Uan Gergasi pergi, kedua kakak beradik yang bersembunyi di semak-semak segera mendekati pondok Uan Gergasi, lalu naik melalui tangga menuju ke dalam pondok. Tiba di muka pintu yang kebetulan tidak ditutup mereka langsung masuk menuju dapur untuk mengambil sebatang kayu api yang masih menyala dan terus kembali pulang menuju pohon jambu tempat tinggalnya.
Tiba di pohon jambu tempat tinggalnya, si kakak mendudukkan adiknya di tanah lalu menyalai daging babi dengan kayu api yang tadi dicurinya di pondok Uan Gergasi. Sedang asyik mereka makan salai daging babi, tak dinyana dan tak disangka-sangka kedua Uan Gergasi suami istri datang sambil berkata, “Grrr... hmmm..., nyammm...nyammm...nyammm..., eee... manusia, eee... halus, eee..., huaaa... ha, ha, ha, haaa..., kamu berdua akan kami makan, nyammm, nyammm... kamu telah mencuri kayu api di pondok kami...!!!”
Mendengar kata-kata dan ancaman suami istri Uan Gergasi yang laksana guntur di siang hari, menggigillah tubuh kedua kakak beradik itu ketakutan, dan berkata hiba memohon ampun, “Oh, Uan Gergasi berdua, ampunilah kami, jangan makan kami, sebab tubuh kami terlalu kecil dan tidak akan membuat kenyang Uan Gergasi berdua”.
Mendengar penuturan kakak beradik itu, Uan Gergasi laki-laki berkata, “Grrr..., kamu betul juga. Hmmm... eee... baiklah, kamu berdua masih kuampuni, tetapi musti ada penggantinya, hmmm... glek, glek, glek... nyammm, nyammm... Oya, salai babi ini kuambil semuanya... grrr... glek, glek, glek!”
“Baiklah kakek dan nenek Uan Gergasi, tapi tinggalkanlah barang sepotong untuk makan kami berdua!” demikian pinta kakak beradik dengan kata-kata dan tubuh yang masih menggigil ketakutan.
Sepeninggal kedua Uan Gerdasi, si kakak mencari akal bagaimana caranya agar bisa mengambil kembali daging babi yang sudah dirampas  oleh suami istri Uan Gergasi itu. Ketika malam tiba, maka kedua kakak beradik itu mendatangi pondok kediaman Uan Gergasi. Setiba di sana lalu keduanya bersembunyi di bawah kolong pondok itu sambil mencari akal bagaimana cara menaiki tangga dan masuk ke dalam  pondok Uan Gergasi. Saat mereka berpikir keras mencari cara masuk ke dalam pondok, tiba-tiba terdengar suara istri Uan Gergasi berbicara kepada suaminya, “Etam ni leh... tubuh etam besar panggar, apa jua ndik ada etam takuti. Jadi etam ini ndik ada nya dapat berani melawan etam. Dada etam aja tujuh bidas, tinggi etam tujuh depa, mitu jua dengan jeriji tangan etam, tegak pisang kampar. Adakah lagi ya dapat mengalahkan etam, dan amun nya ada, coba hak padahi aku, kan nyaman ku tahu”. (Bersambung)

Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor

Sita Blog: "NINA BOBO": “Kisah Puan Tahun” Bag. 2 (Cerita Rakyat Kutai): Dihimpun oleh Emi My Grand child (Foto: SP091257) Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunl...

Sabtu, 16 November 2013

Cerita Rakyat Kutai: “KISAH PUAN TAHUN” Bag. 1 Diceritakan Oleh Sita Rose

Dihimpun oleh Emi
Sita Rose
Nina Bobok – Sabtu, 16 November 2013 - Diceritakan dahulu kala, di tengah-tengah hutan yang lebat, Kalimantan, tinggal dan hidup sepasang suami istri beserta dua orang anaknya.  Kedua orang tua ini sudah berusia setengah umur, sedangkan kedua anaknya, yang sulung berusia lebih kurang dua belas tahun, dan yang bungsu berumur lebih kurang lima tahun. Keadaan hidup mereka sangat menyedihkan karena hanya hidup dari berhuma atau berladang. Meskipun tiap-tiap tahun selalu mendapat padi dari hasil humanya, namun masih selalu hidup dalam kekurangan. Keadaan semacam itu berjalan terus-menerus dari tahun ke tahun tanpa ada perubahan yang cukup berarti bagi mereka. Keadaan semacam inilah yang mempengaruhi kehidupan mereka dan anak-anak mereka tanpa ada batasnya.
Jika kedua suami istri ini pergi ke huma, maka anaknya yang sulung mengasuh adiknya di pondok. Dalam keseharian tampak nyata, bahwa kedua orang tua ini tidak menyukai atau membenci kedua orang anaknya. Kalau hendak menanak nasi, ditunggunya dahulu kedua anaknya itu tidur, dan jika sudah masak bergegas mereka makan dengan lahapnya sampai tak tersisa. Hanya kerak-kerak nasi saja yang diberikan kepada kedua anaknya.
Saat sampai pada musim membuat huma atau ladang, kedua suami istri itu pun bekerja memenebas hutan lebat. Sedang asyik mereka menebas hutan, terdengar kedua anaknya berteriak minta makan, “Ooo... pak, ooo... mak, perut kami lapar, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”. Mendengar kedua anaknya minta makan, bapaknya menyahut: “Kendia dulu... nak, etam sedang menebas huma!”.
Sejak menebas hutan sampai menebang kayu yang sudah memakan waktu hampir setengah hari itu, kedua anaknya belum juga diberi makan. Maka terdengar lagi teriakan kedua anaknya yang kelaparan, “Oo... pak, ooo... mak, perut kami lapar sekali, ‘ndak makan sembela padi, ‘ndak makan sembela pulut!”.
Mendengar itu lalu ibunya menyahut pula, “Kendia dulu nak, etam lagi nebangi kayu!” Setelah mendengar jawaban ibunya itu, maka berdiamlah kedua anaknya itu di dalam pondok. Dari menebang kayu, menebar reba sampai membakar dan menduru, kedua anaknya selalu berteriak minta makan, tetapi selalu dijawab secara berganti-ganti oleh kedua orang tuanya. Demikian peristiwa itu terjadi terus menerus. Sejak mulai menanam, merumput, mengetam atau memotong, hingga akhirnya sampai pada menumbuk padi untuk mendapatkan beras baru, selalu terdengar suara anaknya berteriak-teriak minta makan dan selalu dijawab dengan jawaban yang sama, “etam dulu nak, karang dulu nak, nasi etam parak masak”.
   
Ketika nasi sudah masak, terdengar lagi kedua anaknya berteriak minta makan. Maka dijawab oleh orang tuanya: “Baik, sekarang pergilah nak, ngalak daun pisang di pinggir huma etam, tu!”. Jawab ibunya sambil memberikan sebilah pisau kepada anaknya. Anaknya segera turun dari pondok, sambil membopong adiknya lalu mendekati kedua orang tuanya mengambil pisau untuk memotong daun pisang kemudian berjalan menuju ke sebuah huma yang kata kedua orang tuanya ada pohon pisangnya. Akan tetapi di sana ternyata tak ada pohon pisangnya. Maka anaknya bertanya lagi kepada orang tuanya, “Mana pohon pisangnya, mak?” dijawab oleh ibunya, ”Nun, jauh lagi nak! ‘tu di pinggir huma sana, kalau masih tak ada terus saja berjalan terus sampai ke hutan sana!” Anaknya yang sulung sambil menggendong adiknya kembali ke huma bahkan terus berjalan menuju kedalam hutan sebagai mana yang diperintahkan oleh orang tuanya.
Sementara kedua anaknya berjalan menuju hutan untuk mengambil daun pisang, kedua suami istri itu segera makan nasi yang telah dimasaknya tadi sampai tak tersisa. Setiba di hutan, sambil menurunkan adiknya, berkatalah si kakak kepada adiknya, “Dik, rupanya bapak dan ibu kita sudah tak suka lagi kepada kita berdua, dan tak menganggap lagi kita sebagai anaknya. Kita berdua disuruhnya mengambil daun pisang sampai jauh di hutan ini, sedang mereka berdua makan dengan lahapnya di pondok. Lebih baik kita berdua pergi saja dan tak usah kembali lagi. Biarlah kita berdua mati kelaparan di dalam hutan lebat ini dari pada kembali ke pondok”.
Setelah berkata demikian, maka kedua kakak beradik itu berjalan menyusuri hutan tanpa tujuan. Sampai berhari-hari mereka berjalan mengikuti kemana kaki melangkah. Jika malam tiba mereka beristirahat dan tidur di sela-sela akar kayu. Jika pagi menjelang mereka kembali berjalan tanpa tujuan. Untuk bertahan hidup mereka makan pucuk-pucuk daun muda.
Saat matahari mulai condong ke barat tanda hari mulai menjelang petang, kedua kakak beradik itu menemukan pohon jambu biji yang buahnya demikian lebat.  Karena perutnya sudah demikian lapar, maka tanpa pikir panjang lagi sang kakak sambil mengendong adiknya memanjat pohon jambu biji itu dan memetiknya. Di atas batang jambu yang cukup kuat mereka membuat para-para untuk tinggal sementara menghindari binatang buas yang berkeliaran di malam hari karena pada saat itu hari pun sudah mulai gelap. Setelah selesai membuat para-para adiknya diletakkan di atas para-para, sedangkan kain yang tadi dipakai untuk menggendong adiknya tadi digantungkan pada sebuah dahan sebagai ayunan tempat tidur adiknya.
Demikianlah keadaan kedua kakak beradik itu bertahan hidup. Jika lapar mereka makan buah jambu biji yang banyak mengelantung di sekitar mereka. Tempat tinggal mereka di atas dahan pohon jambu itu diperbaiki, diberi atap dan dinding yang terbuat dari daun-daun “betete” yang banyak berserakan di sekitar mereka.
Suatu ketika, di pagi hari yang cerah, saat sang kakak menunggui adiknya yang sedang tidur di dalam ayunan, lewat seekor babi hutan yang sedang kelaparan. Babi itu memakan jambu-jambu biji yang banyak jatuh berserakani bawah pohon jambu biji itu. Melihat peristiwa ini, timbul pikiran sang kakak untuk membunuh babi itu sebagai santapan sedap di pagi hari dengan menggunakan pisau raut yang dibawanya untuk memotong daun pisang. Sang kakak pun kemudian memetik buah jambu biji yang sudah masak, lalu dipotong-potongnya jambu biji tersebut menjadi beberap potong. Jambu-jambu biji itu kemudian dimasukkan secara berjejer ke dalam pisau rautnya yang tajam itu. Beberapa saat kemudian sang kakak menjatuhkan potongan-potongan jambu biji yang berjejer pada pisau rautnya itu ke tanah dengan sang babi hutan sedang mengendus-endus buah jambu. Melihat potongan buah jambu biji yang demikian menggiurkan dengan warna merahnya, babi hutan tersebut langsung memakan buah jambu tersebut sampai pisau rautnya pun ikut ditelannya. Begitu ditelan tentu saja pisau raut yang tajam itu menusuk dan merobek tenggorokan babi hutan yang kelaparan itu. Merasa kesakitan, babi hutan itu mengguik-guik panjang, dan berputar-putar,darah segar mengucur deras dari leher dan tenggorokannya yang robek, mengelepar jatuh dan mati saat itu juga. (Bersambung)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, Bogor
Sita Blog: "NINA BOBO": Cerita Rakyat Kutai: “KISAH PUAN TAHUN” Bag. 1 Dic...: Dihimpun oleh Emi Sita Rose Nina Bobok – Sabtu, 16 November 2013 - Diceritakan dahulu kala, di tengah-tengah hutan yang lebat...