Dihimpun oleh Emi
My Grand child (Foto: SP091257) |
Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunlah si kakak dari atas pohon jambu, mendekati babi yang sudah mati. Pisau yang ada di leher babi itu lalu dicabutnya, kemudian mulailah dia memotong-motong daging babi itu untuk disalai. Setelah segalanya selesai dikerjakan, termasuk tempat salainya pula, maka termenunglah si kakak memikirkan bagaimana cara mendapatkan api. Sejenak dia berpikir sambil mendongakkan kepalanya ke atas lalu berkata kepada adiknya yang masih ada dalam ayunan. Pada waktu itu adiknya sudah bangun dari tidurnya, “Dek..., ronoh-ronoh awak di ayunan itu, jangan bergerak-gerak yoh! Aku ndak naiki puhun kayu yang tinggi tu, melihat-lihati takut ada taus api urangnya parak”.
Setelah berkata demikian, lalu si kakak menuju ke pohon kayu yang tinggi, lalu memanjat menyusururi akar-akar yang membelit dan bergantung di pohon itu. Ia memandang ke sekelilingnya, memperhatikan kalau-kalau ada asap api yang tampak. Hatinya pun bergembira, karena dari arah barat tampak mengepul-ngepul asap api membumbung ke udara. Tanpak banyak buang waktu, ia pun turun kembali, sambil berkata dalam hatinya, “sudah tentu di dekat sini ada pondok, karena setiap ada asap api, sudah barang tentu ada penghuninya”.
Sesampai di tanah, ia pun menaiki kembali pohon jambu untuk mengambil adiknya untuk dibawa pergi mencari rumah orang yang ada asap apinya sebagaimana yang dilihatnya tadi. Sambil mendukung adiknya, ia pun berjalan menuju ke arah barat naik turun gunung, menyusuri lembah dan dataran tinggi dan dataran rendah. Dari jauh dilihatnya sebuah pondok dengan tiang yang tinggi dan besar-besar. Ia merasa heran melihat pondok besar itu, karena tidak seperti biasanya pondok yang dihuni oleh manusia biasa. Hatinya bertanya-tanya, siapakah pemilik dan penghuni pondok itu. Akan tetapi karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan api, maka diputuskan oleh kedua kakak beradik ini untuk berjalan terus menuju pondok tersebut meskipun secara sembunyi-sembunyi.
Ketika diketahui penghuni pondok itu adalah dua Uan Gergasi (raksasa) suami istri, si kakak menjadi ketakutan, badannya menggigil, jantungnya serasa copot, kakinya terasa lemah dan bergetar hampir tak kuat lagi untuk berdiri.
Dari dalam pondok besar itu terdengar suara raksasa laki-laki berkata kepada istrinya, “Grrr... hmmm,nyam, nyam, nyam, ada bau manusia di dekat sini istriku! Baunya telah kucium, hmmm... grrr... dan kita harus hati-hati istriku, karena manusia umumnya licik dan sangat pintar”.Tidak berapa lama kemudian, tampaklah kedua Uan Gergasi suami istri itu turun dari pondoknya, untuk merampas hewan ternak manusia yang ada di sekitar kampung. Sebelum berangkat kedua Uan Gergasi itu menghitung semua harta benda yang ada di pondoknya khawatir kalau-kalau sepeninggal mereka mencari khewan ternak ada yang mencurinya. Dari yanng besar sampai yang kecil. Bahkan kayu api pun mereka hitung juga. Setelah mereka selesai menghitung harta bendanya barulah mereka berangkat meninggalkan pondoknya dengan perasaan aman.
Sementara Uan Gergasi pergi, kedua kakak beradik yang bersembunyi di semak-semak segera mendekati pondok Uan Gergasi, lalu naik melalui tangga menuju ke dalam pondok. Tiba di muka pintu yang kebetulan tidak ditutup mereka langsung masuk menuju dapur untuk mengambil sebatang kayu api yang masih menyala dan terus kembali pulang menuju pohon jambu tempat tinggalnya.
Tiba di pohon jambu tempat tinggalnya, si kakak mendudukkan adiknya di tanah lalu menyalai daging babi dengan kayu api yang tadi dicurinya di pondok Uan Gergasi. Sedang asyik mereka makan salai daging babi, tak dinyana dan tak disangka-sangka kedua Uan Gergasi suami istri datang sambil berkata, “Grrr... hmmm..., nyammm...nyammm...nyammm..., eee... manusia, eee... halus, eee..., huaaa... ha, ha, ha, haaa..., kamu berdua akan kami makan, nyammm, nyammm... kamu telah mencuri kayu api di pondok kami...!!!”
Mendengar kata-kata dan ancaman suami istri Uan Gergasi yang laksana guntur di siang hari, menggigillah tubuh kedua kakak beradik itu ketakutan, dan berkata hiba memohon ampun, “Oh, Uan Gergasi berdua, ampunilah kami, jangan makan kami, sebab tubuh kami terlalu kecil dan tidak akan membuat kenyang Uan Gergasi berdua”.
Mendengar penuturan kakak beradik itu, Uan Gergasi laki-laki berkata, “Grrr..., kamu betul juga. Hmmm... eee... baiklah, kamu berdua masih kuampuni, tetapi musti ada penggantinya, hmmm... glek, glek, glek... nyammm, nyammm... Oya, salai babi ini kuambil semuanya... grrr... glek, glek, glek!”
“Baiklah kakek dan nenek Uan Gergasi, tapi tinggalkanlah barang sepotong untuk makan kami berdua!” demikian pinta kakak beradik dengan kata-kata dan tubuh yang masih menggigil ketakutan.
Sepeninggal kedua Uan Gerdasi, si kakak mencari akal bagaimana caranya agar bisa mengambil kembali daging babi yang sudah dirampas oleh suami istri Uan Gergasi itu. Ketika malam tiba, maka kedua kakak beradik itu mendatangi pondok kediaman Uan Gergasi. Setiba di sana lalu keduanya bersembunyi di bawah kolong pondok itu sambil mencari akal bagaimana cara menaiki tangga dan masuk ke dalam pondok Uan Gergasi. Saat mereka berpikir keras mencari cara masuk ke dalam pondok, tiba-tiba terdengar suara istri Uan Gergasi berbicara kepada suaminya, “Etam ni leh... tubuh etam besar panggar, apa jua ndik ada etam takuti. Jadi etam ini ndik ada nya dapat berani melawan etam. Dada etam aja tujuh bidas, tinggi etam tujuh depa, mitu jua dengan jeriji tangan etam, tegak pisang kampar. Adakah lagi ya dapat mengalahkan etam, dan amun nya ada, coba hak padahi aku, kan nyaman ku tahu”. (Bersambung)
Referensi:
Kumpulan Cerita Rakyat Kutai, Depdikbud 1979
Posted:
Sita Rose di Pangarakan, BogorSita Blog: "NINA BOBO": “Kisah Puan Tahun” Bag. 2 (Cerita Rakyat Kutai): Dihimpun oleh Emi My Grand child (Foto: SP091257) Nina Bobok – Senin, 25 November 2013 - Melihat babi sudah mati, turunl...