Minggu, 07 Agustus 2016

KEMARAHAN ANAK Oleh: Hugh Jolly

Sita Blog : Penddikan Dalam Keluarga
Minggu, 07 Agustus 2016 - 18:28 WIB

Muh. Fairus 5 Tahun
KEHIDUPAN INI bagi anak kecil adalah “hitam dan putih” — abu-abunya baru akan datang kemudian setelah banyak pengalaman. Segala keinginan harus seketika kesampaian sedang kesabaran belum ada dalam kamusnya dan penilaian sehat belum terpikirkan. Karenanya tidaklah mengherankan bahwa anak kecil sangat cepat putus asa bila apa yang dikehendakinya tidak segera dia peroleh.

Bila tiadanya penilaian sehat ini masih ditambah pula dengan kemauan yang keras dan kaku, kiranya cukup wajarlah kalau acapkali terjadi bentrokan antara si anak dengan orang tua yang berakhir dengan suatu kegegeran pada anak itu. Kegegeran semacam itu tidak harus diartikan bahwa anak itu mempunyai watak yang keras luar biasa, melainkan hanya bahwa anak belum mampu menahan kemarahan. Apakah yang harus dikerjakan oleh orang tua untuk mendinginkan situasi sehingga kemarahan anak akan menjadi reda? Ada kalanya kata tegas atau jentikan kecil cukuplah untuk mengakhiri kegegeran, namun cara seperti itu hendaklah hanya digunakan kalau dapat membawa hasil yang seketika. Lagi pula, resikonya pada kedua pihak hendaklah sungguh-sungguh dimengerti. Kata-kata yang keras dapat menimbulkan addu suara sehingga hal itu bukannya meredakan suasana tetapi malah menambah bahan bakar api yang sudah berkobar. Demikian juga jentikan atau pukulan dapat mengundang balasan dari si anak berupa tendangan atau tindak kekerasan macam itu sehingga perang mulut berubah menjadi perang tubuh.

Anak kecil hendaknya jangan sampai belajar sikap agresif dari orang tuanya, sebab hal itu akan membuat anak merasa senang dengan perasaan marahnya, padahal yang dibutuhkan adalah mendidik anak tentang bagaimana caranya menahan kemarahan. Oleh sebab itu pentinglah bahwa orang tua tetap tenang sehingga anak akan ketularan ketenangan itu.

Yang ideal sebenarnya ialah kalau orang tua dapat memeluk anak itu sehingga luapan emosinya mereda. Tetapi hali ini tentunya tidak mungkin sebab anak yang mengamuk tentu sangat marah sehingga didekati saja mungkin tidak mau, apalagi dipegang dan dipeluknya. Maka yang baik, orang tua pergi saja ke luar kamar sambil meninggalkan si anak bergulingan di ubin (kalau cara itulah si anak itu melampiaskan kemarahannya), tetapi jangan meninggalkannya terlalu jauh. Lagi pula jangan sekali-kali menutup pintu dan menyekap anak itu sendirian karena tindakan semacam itu merupakan tindakan agresif yang salah-salah dapat membuat anak merusak apa saja yang ada di kamar itu. Tindakan itu perlu disusul langkah yang positif dari orang tua — misalnya memperlihatkan kehadirannya — untuk mengadakan kontak lagi dengan si anak.

Sangat baik kalau ayah atau ibu dapat melakukan sesuatu di kamar yang bersebelahan dan berbuat sedemikian rupa sehingga si anak mengetahui apa yang ayah atau ibu sedang lakukan. Tetapi janganlah orang tua mengharap bahwa anak akan datang mendekati mereka, meskipun kadang-kadang anak-anak berbuat begitu, namun pentinglah orang tua segera masuk ke kamar si anak kembali kalau kelihatannya kemarahan anak itu sudah mereda. Di kamar itu orang tua hendaklah menilai apakah suasana sudah cukup baik sehingga anak itu dapat diangkat, atau, kalau belum cukup baik, apakah mereka harus lebih dulu melakukan sesuatu atau di dalam kamar itu juga tanpa melibatkan si anak.

Yang penting dalam semua itu ialah bahwa orang tua bertindak selangkah lebih maju daripada anak dan memikirkan masak-masak apa yang mereka lakukan selanjutnya, meskipun hal ini segera aakan merupakan tindakan otomatis setelah pengalaman bertambah.

Sering dan tidaknya kegegeran ini tergantung pada watak bawaan anak dan suasana suasana emosionil keluarga. Anak yang terpaksa menyaksikan orang tuanya bertengkar dan ikut merasakan kecemasan orang tuanya akan merasa kurang aman bila dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga yang lebih damai, karenanya lebih cepat menjadi geger. Tetapi pada semua anak, kegegeran itu akan menjadi semakin jarang setelah anak semakin mampu melakukan pilihan dan menunggu terlaksananya apa yang dikehendakinya.

Kegegeran seperti yang disebut di atas itu sangatlah berbeda dengan kegegeran di malam hari bila anak tiba-tiba terbangun dan dihinggapi rasa takut yang bukan buatan. Dalam keadaan seperti itu anak membutuhkan hiburan segera dan hendaklah segera diangkat atau dipegangi meskipun mungkin pada awalnya dia akan melawan.

Pada anak kecil ketakutan macam itu mungkin hanya karena tiba-tiba terbangun dalam gelap atau sendirian. Hal ini akan mudahi diatasi dengan lampu yang cukup terang dan tanda-tanda kehadiran orang tua. Kalau perlu mungkin anak dapat diaja tidur di ranjang orang tuanya.

Sejak usia empat tahun kegegeran di malam hari ini mungkin disebabkan oleh mimpi buruk, karena pada usia itu imajinasi anak sedang mulai sangat aktif. Kalau dia bisa bercerita mungkin akan mengatakan bahwa Dia telah bermimpi peristiwa tertentu yang telah dialaminya sehari itu. Mimpi buruk yang kadang-kadang tidaklah perlu dicemaskan, tetapi kalau hal itu menjadi kejadian yang berulang setiap malam, sebaiknya orang tua mencari bantuan dokter untuk mengungkap apakah sebenarnya yang menjadi sebab mimpi-mimpi tersebut yang biasanya tidak disadari.

Mimpi jalan-jalan atau berjalan dalam tidur pada anak-anak seusia prasekolah adalah sangat langka. Mimpi semacam itu baru agak biasa pada anak berusia sepuluh sampai empatbelas tahun. Mimpi semacam itu selalu merupakan masalah gawat. Namun biasanya anak tak akan mengalami malapetaka selagi mimpi begitu, sebab meskipun anak sedang tidur, mekanisme pelindungnya yang biasa mengamankannya di waktu siang, tetap masih bekerja juga pada waktu itu. Namun demikian untuk menjaga segala kemungkinan sebaiknya jendela-jendela dan pintu selalulah dikunci.

Pola perilaku yang aneh ini diakibatkan oleh ketidakmampuan si anak untuk mengendalikan kecemasannya pada waktu malam hari, meskipun di waktu siang dia mungkin dapat mengatasinya dengan cukup mudah. Berhadapan dengan anak macam itu, sebaiknya orang tua mengkhususkan waktu untuk mendengarkan kata-kata si anak dan dengan demikian mengungkap sebab kecemasannya dan kemudian menghentikan mimpi jalan-jalannya itu.

Sumber:
Hugh Jolly “Membesarkan Anak Secara Wajar”

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 07 Agustus 2016 – 14:42 WIB
 

Kamis, 14 Juli 2016

ONDEL-ONDEL BETAWI SEMARAKKAN LEBARAN DI KP. KRAMAT ASEM Oleh Drs. Slamet Priyadi

Blog Sita: Pendidikan Dalam Keluarga
Jumat, 15 Juli 2016 - 06:57 WIB

Ondel-Ondel Betawi di Kp. Kramat Asem
 
Drs. Slamet Priyadi
Sore itu Sabtu, 09 Juli 2016 sekitar pukul 16:00 WIB di Kp. Kramat Asem, Utankayu Selatan terdengar gesekan instrumen musik rebab yang melengking keras dan seperangkat instrumen perkusi kecrek, kenong, dan kendang memainkan lagu-lagu gambang kromong. Beberapa di antaranya adalah Jali-Jali, Sirih Kuning, dan Ondel-Ondel dari album lawas Ida Royani-Benyamin Sueb.

Rupanya lagu-lagu instrumen tersebut dimainkan oleh skelompok pengamen muda belia berusia belasan tahun, mengiringi tarian sepasang ondel-ondel Betawi yang bergoyang, berbutar-putar di sepanjang jalan gang sempit di tengah padatnya perumahan penduduk yang dilewatinya.

Persis, ketika rombongan pengamen onde-ondel itu lewat di depan rumah Almarhum bapak Aspas, tempat singgah kami sekeluarga lebaran Idul Fitri 1437 Hijriah. Di halaman rumah yang tak begitu luas, rombongan pengamen itu berhenti.

Tak berapa lama kemudian rombongan pengamen ondel-ondel itu kembali memainkan musik Betawi irama gambang kromong dengan lagu-lagu khasnya yang sudah tak asing lagi bagi warga  Kampung Kramat Asem, Utankayu Selatan yang memang mayoritas penghuninya adalah masyarakat Betawi.

Sepasang ondel-ondel Betawi kembali menari-nari, berputar-putar, berjalan lenggak-lenggok kian kemari mengikuti irama lagu dan iringan musik pengiring yang mengalun mendayu-dayu, merayu-rayu penuh kemayu. 

Sementara musik dan ondel-ondel terus beraksi, salah seorang rombongan pengamen berkeliling mengajak penonton yang kebanyakan anak-anak dan ibu rumah tangga untuk memberi uang saweran.

Karena tak banyak anak-anak dan ibu-ibu penonton yang berpartisipasi memberi uang saweran, aku bertanya kepadanya:

“Oya, mong-omong kalo satu lagu berapa uang sawernya?”
“Lima ribu rupiah, pak!” jawabnya singkat.
“Baik, kalo begitu saya pesan lima lagu, ya!”

Aku pun segera ambil uang dari saku baju Rp.10.000 dan minta pula pada isteri dan saudara iparku yang ikut menonton hingga terkumpul semuanya sebanyak Rp.25.000 lalu serahkan ke padanya. Meski nilai uang itu relatif tak seberapa untuk sebuah apresiasi musik, namun ada keceriaan nampak pada wajah rombongan pengamen Ondel-ondel, karena tujuan mereka mengamen lewat kesenian Ondel-Ondel Betawi, semata-mata adalah untuk melestarikan budaya Betawi, khususnya kesenian Ondel-Ondel yang kini sudah mulai ditinggalkan oleh banyak generasi muda Betawi itu sendiri.

Kramat Asem, Utankayu Selatan
Sabtu, 09 Juli 2016 – 22 : 15 WIB

Rabu, 08 Juni 2016

DOSA ASAL : KETURUNTEMURUNAN LAWAN LINGKUNGAN By Hugh Jolly

Blog Sita : Pendidikan Dalam Keluarga
Rabu, 08 Juni 2016 - 19:57 WIB

Image "Tusya" (Foto: SP)
Tusya Suka Menggambar


PERNAH penulis dimintai pendapat mengenai dua orang anak belasan tahun – keduanya anak pungut – yang wataknya sangat suliy betapa pun telah dengan keras usaha orang tuanya untuk mendidik kedua anak itu sebaik-baiknya. Si penanya, yang bukan ayah ibu angkat dari kedua anak nakal tersebut, melanjutkan pertanyaannya dengan mengatakan bahwa karena ayah kandung anak pungut itu tentu orang yang tidak bermoral dang tak bertanggung jawab, yang telah meninggalkan akibat perbuatannya begitu saja , maka tidak mengherankan kalau keturunannya senakal itu. Rupanya ia berpendapat bahwa perilaku seseorang itu menurun.

Tentu saja gagasan “dosa asal” semacam itu dapat dibenarkan. Memang anak akan lahir dengan otak baik atau kurang baik dilihat dari tingkat kemampuan intelektuil yang sungguh dapat diturunkan. Jelas pula bahwa anak dapat pula memiliki cacat fisik tertentu yang merupakan akibat gen ayah ibunya. Tetapi dalam hal perilaku, agaknya keturunan tidaklah berperan banyak, mungkin bahkan tidak sama sekali. Bagaimana anak-anak berperilaku, itu tergantung dari cara orang tua menangani anak-anak itu.

Kedua anak belasan tahun tersebut digambarkan sebagai nakal dan suliy sehingga selalu membuat orang tuanya jengkel. Perilaku demikian biasanya dapat dicari sebanya dalam bulan-bulan pertama kehidupan si anak. Tentang pemungutan anak itu sendiri kiranya tidak menjadi soal; yang lebih mungkin menjadi sebab ialah ketidakberesan hubungan antara orang tua dan anak. Hubungan ini kadang-kadang tidak terlalu mudah, apa lagi anak itu baru dipungut setelah lewat beberapa minggu pertama dalam hidupnya. Mungkin kalau ibu itu mempunyai anak kandungnya sendiri, ia tidak juga dapat berhubungan secara normal.

Beberapa ahli telah meemperlihatkan bahwa anak tidak syah yang dipungut oleh keluarga yang normal jauh lebih baik perilakunya daripada anak tidak syah yang dibesarkan oleh ibunya sendiri. Dalam keadaan ini anak lebih cenderung menjadi tak teratur daripada anakyang dipungut.

Perbedaan menyolok antara kedua anak inidalam perilaku tidak dapat lain adalah akibat lingkungan mereka yang berbeda. Situasi keluarga yang normal sangat mungkin akan menghasikan anak-anak yang perilakunya normal, tak peduli apakah anak-anak itu adalah anak kandung ataukah anak pungut.

Bukti lain tentang kuatnya pengaruh lingkungan pada perilaku dapat dilihat kalau kita mempelajari anak-anak mongolian. Dalam ilmu kedokteran diterangkan bahwa anak-anak mongolian mempunyai ciri khas berwatak manis dan suka damai serta senang musik. Ada kesan bahwa watak tersebut berpaut dengan bawaannya. Memang benar bahwa kebanyakan anak mongolian suka damai dan mudah diawasi kecuali beberapa yang agresif dan sulit. Tetapi kalau kita pelajari betul-betul akan nampak bahwa perilaku serupa itu merupakan akibat dari cara orang tua menangani anak-anak mongolian pada umumnya.

Anak-anak mempunyai satu keuntungan bila dibandingkan dengan anak-anak yang akan mengalami gangguan jiwa, yakni bahwa mereka itu sejak awal diketahui cacatnya. Dengan demikian orang tuanya sejak dini dapat diberi bimbingan mengenai cara mendidiknya di masa yang akan datang. Anak-anak yang lain sebenarnya memiliki kekurangnormalan jiwa tetapi tidak kelihatan sewaktu kecil, cenderung untuk didesak-desak terlalu berat untuk melakukan hal-hal yang lebih baik sebelum cacatnya itu ketahuan. Tetapi pada saat itu pengaruh buruk dari tekanan dan perlakuan yang tidak sesuai tersebut sudah akan mengesan terlalu dalam, sehingga kecuali gangguan jiwanya yang merupakan bawaan anak masih mendapat tambahan gangguan emosionil. Itulah sebabnya anak mungkin jadi ‘sulit’ dan kadang-kadang agresif serta ‘jahat’. Anak-anak yang secara mental kurang normal sama saja rawannya terhadap masalah-masalah emosionil seperti anak-anak yang intelektualnya  normal.

Kembali ke anak pungut yang nakal tersebut di atas, dikatakan bahwa seorang dari kedua anak belasan tahun ada kalanya begitu merepotkan sehingga ia harus dikurung dalam kamarnya. Tetapi adakah anak yang mau saja menerima perlakuan agresif seperti itu tanpa reaksi? Justru anak abnormallah yang tidak marah mendapat perlakuan serupa itu.

Sekali orang mengakui bahwa perilaku seorang anak pada pokoknya adalah akibat dari cara orang memperlakukannya, kemungkinan akan besar untuk mengetahui keadaan sesungguhnya sedini mungkin sehingga perlakuan yang kurang sesuai dapat disesuaikan. Bayi yang disebut ‘sulit’ ialah bayi yang menangis terus. Hal ini biasanya tidak disebabkan karena lapar, karena naluri ibu akan segera tahu kapan si kecil segera menyusu. Juga masuk angin dan hal-hal semacam itu sering bukan alasannya. Yang hampir dapat dipastikan kesulitan anak itu berkaitan dengan hubungan antara ibu dan anak.kerapkali bayi menangis terus menerus karena ibunya menangis – meskipun biasanya hanya dalam batin.

Setelah anak berusia beberapa bulan, perilakunya mungkin menjadi sulit bila keingintahuannya yang wajar dihalangi oleh pengasuhnya, terutama bila ia didesak-desak untuk berperilaku menurut pola yang oleh orang tuaya dianggap keharusan. Pola perilaku ibu terhadap anaknya ditentukan terutama oleh cara si ibu diperlakukan  selagi ia kecil dulu, yankni ketika komputernya disetel untuk tindakan yang diharapkannya pada anaknya yang akan datang.

Meninggalkan konsep “dosa asal” itu akan menambah gairah orang ttua dalam membesarkan anak sebab hal itu membuktikan betapa bijaksana tindakan orang tua yang mempengaruhi perilaku anak. Hal itu menuntut suatu pengetahuan tentang perkembangan anak-anak yang normal, dan terrutama tentang bahayanya kalau orang mengharap terlalu banyak secara teerlalu dini.

Orang tua memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap anak. Maka orang tua yang batas toleransinya sempit hendaklah menyadari perasaannya sehingga dengan demikian dapat meluaskan batas-batas itu sedapat mungkin. Mungkin hal ini tidak dapat dilakukan, tetapi kalau orang mengetahui batas-batas perasaannya, ia akan dapat mengambil tindakan menghindar setiap kali luapan perasaannya terlalu kuat terhadap anak-anak. Sungguh lebih baiklah orang tua meninggalkan ruang bila sedang sangat marah kepada anak daripada berbentrok secara fisik untuk menyalurkan amarahnya. Kalau hal ini terjadi, anak akan bereaksi ke arah yang berlawanan, kecuali kalau bentrokan itu terjadi begitu sering sehingga kemauan anak untuk melawan lenyap – dan juga inisiatif wajarnya hilang.

Yang sangat penting dalam hal ini ialah bahwa perilaku anak yang kurang baik dapat dicegah dengan penanganan yang bijaksana.

Sumber:
Hugh Jolly “Membesarkan Anak Secara Wajar”

Bumi Pangarakan, Bogor
Rabu, 08 Juni 2016 – 19:35 WIB
 

Minggu, 05 Juni 2016

KOMUNITAS HAMUR (Rumah Bagi Mereka dari Keluarga Broken Home)

Blog Sita Rose : Pendidikan Dalam Keluarga
Minggu, 05 Juni 2016 - 20:26 WIB
 
Image "Komunitas Hamur" (Foto: SP)
Komunitas Hamur
 Nyaman Karena Bisa Sharing dan Tertawa Bareng Teman

“Di Komunitas Hamur, anak-anak muda produk keluarga broken home
saling menguatkan agar tak terjerambab ke tindakan negatif,
berawal dari pengalaman pahit inisiatornya
yang bahkan hampir memilih mengakhiri hidup.”
( SEKARING RATRI ADANINGGAR, Jogjakarta )

RADAR BOGOR - Sabtu, 4 Juni 2016 - TIAP kali dampratan ayah sudah tak tertanggungkan lagi, tak ada jalan lain bagi Hadaridho Ridwanto, pemuda yang akrab disapa Hadar itu merekam jejak kekerasan verbal tersebut, lalu mengirimkanny ke grup rekan-rekannya di Komunitas Hamur.

“Sayacuma ingin teman-teman tahu gimana jahatnya bapak saya. Dengan begitu, saya bisa lebih plong,” kata mahasiswa jurusan Teknik Pertanian Universitas Gajah Mada (UGM) Jogjakarta itu.

Rumah nyaman yang bernama Komunitas Hamur tersebut memang didirikan untuk tempat berkumpulnya anak-anak muda seperti Hadar dan Zora. Anak-anak muda yang berasal dari keluarga broken home. Mereka yang nyaris terjerambab dalam keputusasaan, tapi berupaya bangkit dan akhirnya menemukan kekuatan dari rekan-rekan senasib sepenanggungan di Hamus.

“Hamur itukalau dibalik jadinya kan rumah. Komunitas ini setidaknya bisa jadi rumah buat orang-orang seperti kami ini, yang berasal dari keluarga berantakan,” kata Dian Yuanita Wulandari, yang menginisiatori pendirian komunitas tersebut pada Febuari 2015.

Ide awalnya berasal dari pengalaman pahit Dian sendiri. Menjadi produk dari kelurga broken home gara-gara perpisahan orang tua dirinya masih duduk di bangku SD, dara 21 tahun itu sering merasa kesepian. Dia juga mudah tertekan dengan banyak hal.

Karena saking depresinya, mahasiswa Fakultas Kehutanan UGM itu mengaku pernah berusaha mengakhiri hidup dengan menyayat pergelangan tangan. “Tapi, begitu darahnya mengucur, aku takut sendiri, ha ha ha,” kenang di tentang pengalaman pahit ituketika ditemui Jawa Pos di sekitar kampus UGM Jumat lalu (27/5).

Karena kerap merasa tertekan, perempuan kelahiran 45 September itu jadi terbiasa curhat kepada teman-temannya di kampus. Ternyata beberapa di antara mereka juga memiliki pengalaman yang tidak jauh berbeda. Bahkan, ada yang jauh lebih mengerikan daripada kisah hidupnya.

Dari situ, dia punya pikiran untuk menyatukan anak-anak korban keluarga broken home tersebut dalam suatu komunitas. Akhirnya, dengan dibantu rekannya, Abdul Djalil, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, dan Nofendianto Rahman yang sefakultas dengannya, Dian mulai menyusun grand design. Dia bahkan sempat berkonsultasi dengan para dosen dan psikolog soal komunitas tersebut.

Begitu konsep matang, mereka meluncurkan Komunitas Hamur pada Agustus 2015. Mereka memperomosikan komunitas tersebut melalui berbagai platform media sosial. Misalnya Twitter, Facebook, Instagram dan Path. Kegiatan pertama komunitas itu diberi tajuk Yo Rujakan, Call for Survivor.

Ternyata responnya lumayan. Belasan mahasiswa dari berbaga dari berbagai fakultas tertarik untuk mengikuti kegiatan tersebut. begitu berkumpul, mereka berbagi kisah pahit yang dialami, khusunya yang terkait dengan keluarga. “Kalau bercerita sama orang yang punya pengalaman sama, rasanya lebih sreg. Kadang kala yangnggak paham malahnganggapkita durhaka,” kata Dian.

Membicarakan orang tua tak terhindarkan bagi mereka. Sebab, pemicu utama broken home adalah kegagalan hubungan ibu dan bapak. Tak selalu pemicunya bapak. Adistya Noventi, misalnya, mendapati sendiri perselingkuhan yang dilakukan sang ibu.

“Mama sering telepon malem-malem sama orang dan mesra. Selain itu, aku juga pernah nemu foto-foto mesra mamaku sama temennyamama yang aku panggil om itu.wes, rasanyanggak keruan pikiranku waktu itu,” kenang Adis ketika ditemui di tempat yang sama dengan Dian.

Nilai sekolah Adis pun sempat anjlok sewaktu duduk di kelas VI SD dan kelas 1 SMP.” Aku masih ingat, waktu itu aku pulang dari Jambore Nasional, dipanggil pengadilan untuk ngurus hak asuh dan aku ikut mamaku,” ujar Adis.

Dia baru mulai memiliki kekuatan untuk menghadapi persoalan keluarga sewaktu duduk di bangku SMA. Interaksi dengan Komunitas Hamur membuat dia makin kuat. “Akujadi lebih betah di sini daripada di rumah. Bisa ketawa-ketawa sama temen-temen,” ujar dia, lau tersenyum.

Kegiatan pertama Komunitas Hamur pada Agustus 2015 kemudian dilanjutkan dengan beragam aktivitas lain. Mulai publik speaking training sampai leadership training. Mereka juga mengunggah seluruh kegiatan tersebut di media sosial.

Buntutnya, jumlah anggota terus bertambah dan kini menembus 64 orang. Bahkan mulai merambah kampus-kampus di Jogja dan sekitarnya sampai Jakarta. “sekarang ada yang dari UNS (Universitas Sebelas Maret), UII (Universitas Islam Indonesia), dan UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Ada juga yang dari Binus, UI (Universitas Indonesia), dan UPN (Universitas Pembangunan Nasional),” terang Dian. (*/c11/ug)

Sumber:
RADAR BOGOR
 Edisi Sabtu, 4 Juni 2016

Bumi Pangarakan, Bogor
Minggu, 05 Juni 2016 – 20:06 WIB