Blog Sita Rose : Pendidikan Dalam Keluarga
Minggu, 05 Juni 2016 - 20:26 WIB
Minggu, 05 Juni 2016 - 20:26 WIB
Nyaman Karena Bisa Sharing dan Tertawa Bareng Teman
“Di Komunitas Hamur, anak-anak muda produk
keluarga broken home
saling menguatkan agar tak terjerambab ke
tindakan negatif,
berawal dari pengalaman pahit inisiatornya
yang bahkan hampir memilih mengakhiri
hidup.”
( SEKARING
RATRI ADANINGGAR, Jogjakarta )
RADAR BOGOR - Sabtu, 4 Juni 2016 - TIAP kali dampratan
ayah sudah tak tertanggungkan lagi, tak ada jalan lain bagi Hadaridho Ridwanto,
pemuda yang akrab disapa Hadar itu merekam jejak kekerasan verbal tersebut,
lalu mengirimkanny ke grup rekan-rekannya di Komunitas Hamur.
“Sayacuma
ingin teman-teman tahu gimana jahatnya bapak saya. Dengan begitu, saya bisa
lebih plong,” kata mahasiswa jurusan Teknik Pertanian Universitas Gajah
Mada (UGM) Jogjakarta itu.
Rumah nyaman yang bernama Komunitas Hamur tersebut
memang didirikan untuk tempat berkumpulnya anak-anak muda seperti Hadar dan
Zora. Anak-anak muda yang berasal dari keluarga broken home. Mereka yang nyaris terjerambab dalam keputusasaan,
tapi berupaya bangkit dan akhirnya menemukan kekuatan dari rekan-rekan senasib
sepenanggungan di Hamus.
“Hamur
itukalau dibalik jadinya kan rumah. Komunitas ini setidaknya bisa jadi
rumah buat orang-orang seperti kami ini, yang berasal dari keluarga
berantakan,” kata Dian Yuanita Wulandari, yang menginisiatori pendirian
komunitas tersebut pada Febuari 2015.
Ide awalnya berasal dari pengalaman pahit Dian
sendiri. Menjadi produk dari kelurga broken
home gara-gara perpisahan orang tua dirinya masih duduk di bangku SD, dara
21 tahun itu sering merasa kesepian. Dia juga mudah tertekan dengan banyak hal.
Karena saking depresinya, mahasiswa Fakultas
Kehutanan UGM itu mengaku pernah berusaha mengakhiri hidup dengan menyayat
pergelangan tangan. “Tapi, begitu
darahnya mengucur, aku takut sendiri, ha ha ha,” kenang di tentang
pengalaman pahit ituketika ditemui Jawa
Pos di sekitar kampus UGM Jumat lalu (27/5).
Karena kerap merasa tertekan, perempuan kelahiran
45 September itu jadi terbiasa curhat kepada teman-temannya di kampus. Ternyata
beberapa di antara mereka juga memiliki pengalaman yang tidak jauh berbeda.
Bahkan, ada yang jauh lebih mengerikan daripada kisah hidupnya.
Dari situ, dia punya pikiran untuk menyatukan
anak-anak korban keluarga broken home tersebut
dalam suatu komunitas. Akhirnya, dengan dibantu rekannya, Abdul Djalil,
mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, dan Nofendianto Rahman yang sefakultas
dengannya, Dian mulai menyusun grand
design. Dia bahkan sempat berkonsultasi dengan para dosen dan psikolog soal
komunitas tersebut.
Begitu konsep matang, mereka meluncurkan Komunitas
Hamur pada Agustus 2015. Mereka memperomosikan komunitas tersebut melalui
berbagai platform media sosial. Misalnya Twitter, Facebook, Instagram dan Path.
Kegiatan pertama komunitas itu diberi tajuk Yo
Rujakan, Call for Survivor.
Ternyata responnya lumayan. Belasan mahasiswa dari
berbaga dari berbagai fakultas
tertarik untuk mengikuti kegiatan tersebut. begitu berkumpul, mereka berbagi
kisah pahit yang dialami, khusunya yang terkait dengan keluarga. “Kalau bercerita sama orang yang punya
pengalaman sama, rasanya lebih sreg. Kadang kala yangnggak paham
malahnganggapkita durhaka,” kata Dian.
Membicarakan orang tua tak terhindarkan bagi
mereka. Sebab, pemicu utama broken home
adalah kegagalan hubungan ibu dan bapak. Tak selalu pemicunya bapak. Adistya
Noventi, misalnya, mendapati sendiri perselingkuhan yang dilakukan sang ibu.
“Mama sering
telepon malem-malem sama orang dan mesra. Selain itu, aku juga pernah nemu
foto-foto mesra mamaku sama temennyamama yang aku panggil om itu.wes,
rasanyanggak keruan pikiranku waktu itu,” kenang Adis ketika ditemui di
tempat yang sama dengan Dian.
Nilai sekolah Adis pun sempat anjlok sewaktu duduk
di kelas VI SD dan kelas 1 SMP.” Aku masih ingat, waktu itu aku pulang dari
Jambore Nasional, dipanggil pengadilan untuk ngurus hak asuh dan aku ikut mamaku,”
ujar Adis.
Dia baru mulai memiliki kekuatan untuk menghadapi
persoalan keluarga sewaktu duduk di bangku SMA. Interaksi dengan Komunitas
Hamur membuat dia makin kuat. “Akujadi
lebih betah di sini daripada di rumah. Bisa ketawa-ketawa sama temen-temen,” ujar
dia, lau tersenyum.
Kegiatan pertama Komunitas Hamur pada Agustus 2015
kemudian dilanjutkan dengan beragam aktivitas lain. Mulai publik speaking training sampai leadership
training. Mereka juga mengunggah seluruh kegiatan tersebut di media sosial.
Buntutnya, jumlah anggota terus bertambah dan kini
menembus 64 orang. Bahkan mulai merambah kampus-kampus di Jogja dan sekitarnya
sampai Jakarta. “sekarang ada yang dari UNS (Universitas Sebelas Maret), UII
(Universitas Islam Indonesia), dan UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Ada juga
yang dari Binus, UI (Universitas Indonesia), dan UPN (Universitas Pembangunan
Nasional),” terang Dian. (*/c11/ug)
Sumber:
RADAR BOGOR
Edisi Sabtu,
4 Juni 2016
Bumi Pangarakan,
Bogor
Minggu, 05
Juni 2016 – 20:06 WIB
Buntutnya, jumlah anggota terus bertambah dan kini menembus 64 orang. Bahkan mulai merambah kampus-kampus di Jogja dan sekitarnya sampai Jakarta. “sekarang ada yang dari UNS (Universitas Sebelas Maret), UII (Universitas Islam Indonesia), dan UNJ (Universitas Negeri Jakarta). Ada juga yang dari Binus, UI (Universitas Indonesia), dan UPN (Universitas Pembangunan Nasional)”
BalasHapus