Jumat, 25 Januari 2013

Dikecam, Kejahatan Terhadap Keluarga oleh Pejabat Publik


Penulis : Lusiana Indriasari | Jumat, 25 Januari 2013 | 19:15 WIB
Kompas/Lusiana IndriasariAktivis perempuan dan anak berkumpul di The Wahid Institute. Mereka mendukung pengungkapan kasus kekerasan dan kejahatan perkawinan yang dilakukan pejabat publik dan pengusaha.
JAKARTA, KOMPAS.com - Aktivis perempuan, anak dan kemanusiaan mengecam berbagai kasus kejahatan yang dilakukan pejabat publik dan pengusaha terhadap keluarganya. Kejahatan di dalam rumah tangga yang dilakukan pejabat publik mencerminkan perilaku pejabat bersangkutan bila berhadapan dengan kepentingan rakyat.

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik di lingkungan domestik maupun publik oleh pejabat publik dan pengusaha makin kerap terjadi akhir-akhir ini. Namun hingga sekarang belum ada keberpihakan dalam penyelesaiannya. "Upaya untuk memperoleh keadilan bagi perempuan dan anak semakin sulit karena dimungkinkannya terjadi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power)," kata Muhammad Ihsan, Ketua Satgas Perlindungan Anak sekaligus Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Jumat (25/1/2013).
Siang itu KPAI bersama berbagai elemen aktivis perempuan dan anak berkumpul di The Wahid Institute Matraman, Jakarta Pusat. Mereka membacakan pernyataan sikap terkait maraknya kasus kekerasan dan kejahatan pernikahan oleh pejabat publik dan pengusaha. Beberapa kasus yang mencuat belakangan ini adalah kasus FO korban nikah siri 4 malam oleh Bupati Garut, kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dialami oleh istri dan anak Wakil wali Kota Magelang, kasus Pejabat di Badan Penanam Modal Semarang yang tidak mengakui anak kandungnya meski tes DNA nya positif.

Di Papua ada kasus seorang pengusaha Papua menikahi anak di bawah umur untuk ke-3 kalinya, kasus nikah siri dan penelantaran keluarga oleh Wali Kota Palembang, kasus DPRD Tasikmalaya yang menelantarkan istri sedang hamil dan telah sekian tahun melakukan nikah siri. Kasus-kasus tersebut hanyalah yang terangkat ke permukaan. Kuatnya budaya patriarki dan sistem hukum yang cenderung menyudutkan perempuan korban kekerasan membuat para korban takut mengungkap kasus yang menimpa dirinya.


"Ketika terjadi pertikaian di dalam rumah tangga, terjadi ketidakseimbangan power antara laki-laki dan perempuan. Maka dalam penyelesaian di pengadilan perempuan selalu dikalahkan," kata Dwi Ria Latifa dari Persatuan Advokat Indonesia (Peradi).

Posisi perempuan dan anak semakin tertindas ketika pejabat atau pengusaha tersebut menggunakan kekuasaan yang melekat dengan jabatannya. Apresiasi yang setinggi-tingginya pada MA dan DPRD Garut yang sudah mendukung rasa keadilan masyarakat, khususnya terkait dengan perlindungan anak. Perkembangan terakhir, Bupati Garut Aceng Fikri mengancam akan PTUN-kan Presiden, menggugat MA serta DPRD Garut dan jajarannya sebesar Rp 5 triliun.

Aceng dimakzulkan dari jabatannya beberapa waktu lalu. Shinta Nuriyah Wahid, mengatakan, agama seringkali dipolitisir untuk kedok melakukan kejahatan perkawinan. Hukum perkawinan secara agama yang tidak mewajibkan pencatatan pernikahan oleh negara inilah yang sering diselewengkan. 
Editor :
Rusdi Amral

Tidak ada komentar:

Posting Komentar