Ratu Balqis Khumaira 5 bulan |
Pendidikan Anak Dalam Keluarga - Sabtu, 31 Januari 2015 - BANYAK orang kurang
mengerti gawatnya masalah bila bayinya selalu menangis. Betapa sering kita mendengar orang
berpendapat, “Menangis itu sehat bagi seorang bayi, dengan demikian ia melatih
paru-parunya”. Cobalah kita pikirkan,
apa sebabnya seorang bayi harus “melatih” paru-parunya, sedang orang tua kok
tidak. Mungkin orang mengkaitkan gagasan
itu dengan tangisan pertama si bayi sesudah lahir. Memang
tangisan tersebut vital untuk
mengembangkan paru-paru sepenuh-penuhnya, tetapi sesudah yang sekali itu
tangisan tidak pernah diperlukan untuk berfungsinya paru-paru.
Ada yang berpendapat
bahwa menangis adalah satu-satunya cara seorang bayi mengungkapkan perasaannya
dan karenanya tangisan bayi tidak harus disamakan dengan tangisan anak yang
lebih besar. Pendapat ini ada juga
benarnya, karena tangisan baginya adalah satu-satunya cara menarik perhatian
orang tua bila ia minta disusui, bila merasa terlalu panas atau terlalu dingin.
Tetapi bayi tak
menangis terus-menerus dengan alasan-alasan tersebut. juga ia tidak menangis karena popoknya
basah, misalnya. Coba kita pikirkan, kenapa bayi yang
dihangatkan rapat-rapat itu harus menangis karena popoknya tiba-tiba bertambah
hangat oleh air kencingnya sendiri?
Kita kadang-kadang
terlalu cepat mencari alasan-alasan praktis untuk menjelaskan mengapa bayi
selalu menangis, dan tidak melihat lebih mendalam. Mengapakah bayi yang “tumbuh giginya” harus
menangis sedang anak-anak yang lebih besar yang giginyapun tumbuh dan lebih banyak
pula, tidak menangis? Jadi, kalau bukan
sebab-sebab itu, lalu kenapa bayi menangis berkepanjangan?
Kalau seorang bayi
menangis bukan karena lapar, kepanasan atau kedinginan, dapat juga karena ia
merasa bosan atau sedih. Bayi juga
mengenal perasaan batin. Sebagaimana
kita tahu, bayi memerlukan rangsangan untuk berkembang dengan kecepatan
maximum. Sarana rangsangan yang paling
cocok ialah permainan. Hal ituberlaku
bagi bayi maupun anak-anak yang lebih besar. Dan
si bayi seolah-olah mengetahui hal ini, sehingga kalau dibiarkan sendirian
karena orang tua mengharap ia akan tidur, maka mulailah ia menangus minta
perhatian. Ia membutuhkan perhatian itu
demi perkembangannya yang normal. Bila
tangis ini tidak didengarkan, atau tidak dimengerti, si bayi akan tertidur
karena hilang kemauan dan satu kesempetan pun hilang baginya untuk belajar
lebih banyak.
Ada lagi alasan
tangis bayi secara terus-menerus yang cukup serius, yaitu kalau hal itu
merupakan pencerminanketidakbahagiaan ibunya.
Bayi itu lebih peka terhadap perasaan-perasaan ibunya daripada orang
dewasa terhadap orang-orang di lingkungannya.
Ini tidak mengherankan kalau kita pikirkan betapa intim dan erat
bersentuhannya hubungan bayi dengan ibunya.
Banyak alasan
mengapa bayi banyak menangis itu terletak dalam perasaan orang tua selama si
bayi dikandung dan selama masa kanak-kanak orang tua sendiri. Kemampuan untuk menyayangi bayi itu
dipelajari dengan jalan mengalami sayang-menyayang secara formal selama masa
kanak-kanak. Mungkin kalau ada seorang
ibu yang minta nasehat tentang bayinya yang selalu menangis, baiklah ia
ditanya, “Apakah perasaan Anda ketika ketahuan bahwa Anda telah
mengandung?” dengarkanlah jawab seorang
ibu, “Seperti disambar geledek tak kenal!”
Mungkin sang calon ibu bukan terkejut saja, ia mulai berpikir dan membuat
rencana untuk mengakhiri kandungannya (membuang bayi celaka ini). Hal-hal serupa itu akan menambah rasa
bersalah h yang mengendap di hati ibu bila ia berhadapan dengan si bayi yang
pernah mau ditiadakannya. Tidaklah
mengherankan bahwa bayi seperti itu merupakan barometer yang peka dari perasaan
orang tuanya dan bahwa ketdaktenangannya membuat si bayi banyak menangis.
Begitu banyaklah hal
yang terjadi atas tubuh seorang ibu segera setelah kelahirkan bayinya, selagi
tata susunan kimiawinya kembali ke keadaan tidak hamil, sehingga pantaslah
bahwa perasaannya jadi sangat peka ketika itu.
Lonjakan kegirangan yang memenuhi hatinya sewaktu melahirkan (kalau
itulah yang dirasanya) tentu akan menurun kembali setelah beberapa hari. Gerak menurun ini bagaimanapun akn
menimbulkan perasaan tertekan yang mungkin bertambah karena tangis bayi yang
sebenarnya hanya pantulan dari perasaan sang ibu sendiri.
Ada pula masalah ibu
yang tidak merasakan gejolak kegirangan sewaktu melahirkan. Mungkin sebelumnya ia pernah mendengar
tentang perasaan itu pada saat melahirkan, tetapi ternyata tidak dialaminya,
dan ia pun merasa tertipu. Lalu
timbullah rasa bersalah dan meragukan kompetensinya sebagai ibu.
Lain penyebab rasa
tertekan pada ibu yang mungkin membuat si bayi menangis terus-menerus ialah
perasaan ibu yang menyadari bahwa ia tidak seketika merasa penuh kasih-sayang
kepada bayinya yang baru dilahirkannya, sedang menurut kata orang hal itu
seharusnya terjadi. Memang cinta pada pandangan
pertama mungkin saja terjadi, tetapi belajar mencinta kerap kali makan waktu
yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya
berlaku pada kasih antara orang dewasa, tetapi juga antara ibu dan bayinya.
Dari semua yang udah
dikatakan di atas kiranya jelas bahwa
menangis pada bayi adalah gejala yang serius dan — kecuali kalau ada alasannya
yang jelas seperti sakit atau sebablain — perlu dicari sebab-sebabnya pada
perasaan orang tua sendiri. Terhadap
bayi yang menangis berkepanjangan hendaklah jangan bersikap “biar saja” karena
baik untuk melatih paru-paru dan sebagainya.
Saat satu-satunya di mana orang tua sebaiknya jangan mendekati si bayi
ialah kalau orang tua begitu meluap marahnya karena tangis yang tak
habis-habisnya itu, sehingga ada kemungkinan mereka berbuat yang merugikan bagi
si bayi. Tetapi dalam hal ini sebaiknya
orang tua tersebut secepat mungkin minta bantuan dokter jiwwa untuk diri mereka
sendiri.
Pustaka:
Hugh Jolly.
“Membesarkan Anak Secara Wajar”
(Petunjuk lengkap
cara pameliharaan anak dari seorang dokter ahli)
Minggu, 31 Januari 2015 – 16:17 WIB
Sita Rose
Di Pangarakan, Bogor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar